"Oh, jadi ia guru biologi baru di sekolahmu? Well, itu agak di luar dugaan. Ibu sempat melihatnya kemarin, kupikir ia seorang pebisnis," komentar Ny. Harrington setelah putrinya menceritakan apa yang terjadi tadi pagi: keluarga Winterstorm memberikan tumpangan ke sekolah untuknya dan Kenzie.
Ny. Harrington sedang sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam tas, sedangkan Rachel berbaring di atas kasurnya, menonton ibunya dengan malas. "Bagaimana dengan adiknya ㅡGray?" tanya wanita itu kemudian.
"Ia tidak terlalu ramah," jawab Rachel seadanya setelah menghela napas.
"Mungkin karena kalian belum kenal dekat," ujar ibunya.
Rachel membenarkan perkataan sang ibu dalam diam. Ya, mereka memang belum benar-benar mengenal. Walau tadi pagi mereka berangkat bersama dan sorenya mereka juga pulang bersama, Rachel dan Gray sama sekali tidak mengobrol. Lelaki itu tampaknya memang tidak terlalu banyak bicara, berbanding terbalik dengan Jaime.
Sedikitnya, Gray berbicara dengan Kenzie, itupun membahas tugas sekolah yang mereka dapat karena kebetulan mereka sekelas untuk beberapa pelajaran. Selebihnya, ia tidak ada membuka mulut lagi. Dan Rachel juga terlalu enggan untuk memulai percakapan dengannya. Ia sudah cukup tersinggung setelah dikatakan 'anak kecil'.
"Ibu akan pulang besok pagi dan ayahmu lembur hari ini. Ibu sudah menyiapkan makan malam. Jangan bertengkar dengan kakakmu," pesan Ny. Harrington setelah ia selesai mengemasi barang-barangnya.
Rachel kembali menghela napas. "Seharusnya Ibu mengatakan itu pada Kenzie. Ia yang suka mencari masalah denganku," tuturnya.
Ibunya tersenyum lalu mengecup kening putrinya lembut. "Akur dengan Kenzie, oke?"
Akhirnya sebuah anggukan pasrah Rachel berikan untuk ibunya. Sejurus kemudian, ibunya pergi meninggalkan dirinya dan Kenzie berdua di rumah. Entah dimana kakaknya itu sekarang berada, mungkin sedang tidur di kamarnya, dan Rachel tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ia buru-buru menaiki tangga dan masuk ke kamarnya, tidak sabar melakukan hobinya.
Dibukanya laptop yang diletakkan di atas meja belajarnya lalu ia nyalakan. Sembari menunggu layar laptop memproses, Rachel mulai berpikir akan 'milik siapa' yang akan ia stalk hari ini. Dan begitu tampilan home terpampang, ia buru-buru membuka Chrome-nya dan mengetik 'abs sehun' pada kolom search.
Ia tersenyum puas begitu melihat hasil pencarian yang diberikan, berupa gambar-gambar seorang pemuda yang bertelanjang dada, memperlihatkan bahu lebar dan tentu saja bagian kesukaan Rachel, abs dengan six-packs. Namun saat ia tengah men-scroll down hasil-hasil pencarian itu untuk menemukan beberapa yang terbagus, ia terusik oleh suara ketukan pada pintunya.
Rachel mendengus. Namun gadis itu sama sekali tak ada niatan untuk beranjak dari duduknya dan membukakan pintu. Itu karena ia yakin Kenzie sedang tidak ada kerjaan dan hanya ingin mengganggunya. Lagipula, sejak kapan kakaknya itu tahu cara mengetuk pintu?
Beberapa detik kemudian, pintunya kembali terketuk dan itu berhasil membuat si pemilik kamar mendecakkan lidah kesal. Dengan gusar akhirnya ia berdiri dari kursi lalu berjalan cepat menuju pintunya. Dibukanya pintu itu dengan kasar sambil membentak, "Kenapa kau tidak cari pekerjaan lain saja dan berhenti menggangguku?!"
"Oh?" adalah hal yang terlontar dari bibir tipis si pengetuk pintu setelah mendengar racauan Rachel. Sementara Rachel membelalak matanya melihat penampakan di hadapannya itu. Tubuh jangkung, rambut abu, dagu runcing. Apa yang Gray Winterstorm lakukan di rumahnya? Ditambah lagi, mengetuk pintunya!
"Jadi ini bukan kamar Kenzie?" tanyanya setelah mereka cukup lama mematung. Atau tepatnya, hanya Rachel yang berdiri membeku menatap Gray tidak percaya.
"B-bukan, maaf telah membentakmu, kupikir kau Kenzie," jawab Rachel kikuk. "Kamarnya di sana," dengan tangannya yang gemetar karena gugup, ia kemudian menunjuk sebuah kamar di ujung lorong, kamar milik kakaknya.
"Oh, baiklah," kata Gray singkat, tanpa terima kasih. Rachel pikir lelaki itu akan segera mengangkat kakinya dari sana dan pergi menuju kamar yang barusan ia tunjuk, namun ternyata tidak. Gray justru masih berdiri di posisinya, dengan kedua tangan ia masukkan di masing-masing kantong celananya dan kepala yang ia tengokkan ke dalam kamar Rachel.
"Ini kamarmu?" tanyanya.
Rachel mengangguk pelan. Dan sedetik kemudian, ia tidak percaya akan apa yang terjadi. Gray melangkah masuk ke dalam! Bahkan tanpa ijin!
"A-apa yang kauㅡ"
"Kamar yang tidak burukㅡ," komentar Gray sambil menyapu pandangannya pada kamar Rachel. Ia lalu menatap Rachel tajam lewat sudut matanya. Sebuah senyum miring terulas di bibirnya. "ㅡuntuk seorang gadis kecil," lanjutnya, dengan nada mengejek.
Rachel menatapnya dengan kesal. Lagi-lagi lelaki itu menyebutnya demikian. Well, tubuh Rachel memang kecil, tapi tetap saja ia bukan anak kecil. Umurnya 17 tahun ini!
Pandangan Gray tiba-tiba terhenti pada meja belajar Rachel, dengan laptop yang masih terpampang menyala di atasnya. Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya melihat apa yang tertera di layar laptop itu sedangkan Rachel membulatkan matanya panik. Ia lalu melesat mendekati mejanya dan menutup laptopnya dengan cepat.
"Pfftt," Gray tampak menahan tawanya. "Apa-apaan itu?" tanyanya.
"Bukan urusanmu," jawab Rachel ketus. Ia lalu berdehem. "Aku sudah memberitahukanmu kamar Kenzie, kau bisa pergi," usirnya halus.
Gray mengangkat bahu. "Sebenarnya kakakmu menyuruhku datang setelah makan malam untuk mengerjakan tugas bersama tapi ia tidak membalas pesanku," tuturnya.
Rachel menghela napas. Tentu saja orang itu tidak membalas. Si tukang tidur itu sedang asyik di alam mimpinya! Mana pernah ia peduli dengan tugas?
"Ia pasti sedang tidur. Gedor saja pintunya," kata Rachel, masih dengan nada ketus.
Gray melipat kedua tangannya di depan dada. "Kau ingin aku cepat-cepat pergi jadi kau bisa kembali melihat-lihat dada dan perut laki-laki, ya?" tebaknya.
Rachel membelalakkan matanya. "D-dada dan p-perut apa?! Tentu saja t-tidak!" tukasnya, walau ia sudah tertangkap basah melakukan itu.
Gray tertawa pelan. Masih dengan tangan terlipat di dada, ia berjalan mendekati Rachel. Tubuhnya yang jangkung ia condongkan mendekati Rachel, membuat wajah mereka setara tingginya.
"Anak kecil tidak bisa berbohong," bisiknya sambil mengulas smirk itu lagi.
Rachel menggeram. "Aku bukan anak kecil!" serunya sambil mendorong dada Gray agar lelaki itu menjauh darinya.
Sentuhan kedua tangan Rachel pada dada Gray itu membuat mereka membeku beberapa detik. Rachel dapat merasa wajahnya memanas begitu merasakan betapa keras dan tegasnya dada Gray, sedangkan Gray seakan mendapat sengatan pada tubuhnya begitu telapak tangan Rachel menyinggung tubuhnya.
Beberapa saat kemudian Rachel menjauhkan tangannya. Ia baru akan membuka mulutnya dan berencana menyuruh tetangganya itu pergi, namun Gray sudah berfrasa terlebih dahulu.
"Kutebak kau tidak pernah melihat satu abs pun secara langsung," smirk-nya tumbuh lagi pada bibir tipisnya, kali ini dibarengi dengan tatapan tajam yang seolah dapat menggali dalam-dalam mata Rachel.
"Jadi aku akan berbaik hati memperlihatkan milikku, bagaimana menurutmu?"
ㅡto be continuedㅡ
KAMU SEDANG MEMBACA
neighbor with benefits
Short Story"Kutebak kau tidak pernah melihat satu abs pun secara langsung. Jadi aku akan berbaik hati memperlihatkan milikku, bagaimana menurutmu?" adalah rentetan kata tidak masuk akal yang memulai sebuah barter keuntungan di antara dua remaja yang saling ber...