Setelah kejadian kemarin, Viola sangat dibuat stres karena Xeon. Untung saja ini hari Sabtu. Ia tak perlu bertemu dengan Xeon atau teman-temannya yang lain. Ia sangat bingung kalau sampai mereka bertanya kenapa harus berbohong dengan kemampuan bahasanya itu. Viola memang tak bermaksud berbohong, ia hanya tak mau menjadi terkenal dengan kemampuan yang sangat tak bermanfaat seperti itu. Apalagi dengan ucapan Xeon sore kemarin. Hhh.. membuatnya bingung dan semakin kesal.
Hari ini Viola hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar yang luas dan sepi itu. Ia duduk di meja belajarnya memandang puluhan foto-foto yang selalu menemani hari Sabtunya yang sangat membosankan. Kenangan-kenangan yang tak bisa ia lupakan. Walau hanya bisa melihat tanpa bisa merasakan bagaimana setiap pose dalam foto-foto itu menggambarkan orang-orang yang tersenyum bahagia tanpa ada dirinya disana. Ya, Viola hanya mampu mengambil gambar momen-momen keluarganya yang sedang tersenyum.
Ada foto saat keluarga kecilnya tertawa bahagia saat berjalan-jalan di taman hiburan. Viola tak pernah diajak untuk berlibur, jadi dia akan mengikuti orang tua dan saudaranya dengan sembunyi-sembunyi dan mengambil gambar yang ia suka saat mereka tak melihat. Ada juga foto-foto Wiza dengan teman-temannya yang sedang jalan-jalan ke mall. Semua itu tak membuatnya bosan memandang walau sudah berjam-jam ia memandangi satu persatu foto-foto itu. Sampai ia menemukan beberapa foto yang...
Setetes air mata yang sudah ia tahan sedari tadi lolos begitu saja tanpa Viola sadari. Sempat kesal melihat bekas air mata itu jatuh menetesi foto berharganya. Foto saat semuanya masih utuh tanpa cacat sedikitpun. Foto saat ia masih kecil, sekitar dua belas tahun lalu diambil di halaman sebuah rumah. Bukan, bukan rumahnya, tapi rumah sahabatnya dulu. Di foto itu memperlihatkan dua anak perempuan yang benar-benar mirip. Tak ada yang berbeda sedikitpun. Satu dari dua anak perempuan itu saling berpegangan dengan tangan anak laki-laki yang umurnya sama dengan keduanya. Sedangkan di tengah-tengah anak perempuan itu ada seorang anak laki-laki yang berbeda umur sekitar 2 tahun lebih tua merangkul keduanya dengan senyuman lebar.
Viola sangat merindukan kedua anak laki-laki itu. Sayangnya, Viola sama sekali tak tahu apakah ia masih bisa bertemu mereka di dunia ini atau tidak. Setelah sepuluh tahun menghilang, tak ada satupun kabar dari mereka. Viola memejamkan matanya, rasa sakit kehilangan itu masih ada tak bisa hilang begitu saja dari tubuhnya. Semua ingatan kelam itu membuatnya kembali teringat dengan seberapa benci semua orang padanya saat itu. Bahkan kedua orang tuanya sendiri tega untuk mengeluarkannya dari kartu keluarga. Sejak saat itu Viola yang baru berumur enam setengah tahun harus hidup sendiri tanpa lirikan orang tua walau ia masih berada di rumah kedua orang tuanya.
Suara dering ponsel Viola membuka matanya lagi, ia sedikit menghapus jejak air matanya. Ia tak peduli siapa yang menelfon karena sama saja mereka tak bisa melihat air matanya tak bisa berhenti saat ini. Viola asal memencet tombol dan menempelkan handphonenya ke telinga.
"Hallo?"
"Lo bangun tidur, ya? Ini video call Miss V!"
Viola terkejut saat mendengar kata video call, ia segera melihat kembali layar ponselnya yang sudah menampakkan wajah Xeon yang melihatnya dengan wajah datar. Seketika itu juga Viola langsung membanting ponselnya ke atas meja dan menghapus semua jejak air matanya. Ia berdoa semoga saja Xeon belum melihat matanya tadi. Setelah dirasa semua bekas air matanya sudah hilang, Viola kembali mengambil ponselnya lagi dan melihat Xeon yang sedang menatapnya.
"Lo ngapain video call gue?" Tanyanya.
"Bosen aja, temen-temen gue gak ada yang asik. Iseng deh video call lo. Lo lagi apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AM I SICK?
Teen FictionAku tak pernah tahu apa itu bahagia selama aku sendiri, maka aku tak pernah meraskannya. Berbanding terbalik dengannya. Dia yang selau ceria dan berkuasa. Tak ada yang bisa menandinginya dan tak ada yang mau bersaing dengannya. Bukan berarti aku cem...