Part 6 - Taksi

6.5K 591 6
                                    

Musim penghujan hampir berakhir, namun sepertinya hujan belum mau meninggalkan bumi. Seperti Ardi yang masih berusaha menghubungiku. Aku bersikeras tidak menjawab ratusan pesan dan puluhan telponnya. Beberapa kali dia datang ke rumah, namun aku tidak mau bertemu. Entah aku mengunci diri di kamar atau berlama-lama berada di kantor.

Menyibukkan diri adalah salah satu cara ampuh untuk tidak berlama-lama menangis. Aku menenggalamkan diri dalam pekerjaan. Orang kantor yang pertama menyadari ini adalah Ibu Anna. Namun beliau tidak tahu alasan kenapa aku begitu kusut, bahkan terkadang begitu marah. Ya, aku marah pada diri sendiri. Marah karena dengan bodohnya aku dibodohi.

Pagi ini aku harus menghadiri meeting dengan bosku. Monthly Review untuk kurir PT A Express. Vendor ini memang istimewa dalam hal yang kurang baik. Sejak tahun lalu masalah keterlambatan customer VIP yang menjadi besar itu, mereka sepertinya ogah-ogahan untuk memperbaiki kinerja mereka. Tariff mereka yang tidak kompetitif dan lead time yang tidak membaik makin membuat aku berang. Saat ini mereka terjerat kasus pencurian ponsel di bandara. Tidak tanggung-tanggung, 9 ponsel paling mahal hilang. 

"Pak Andri, seharusnya Bapak melakukan sesuatu untuk memperbaiki sistem keamanan area anda di bandara. Ini bukan ponsel pertama yang hilang. Track record Bapak buruk."

"Mba Laras, kami sudah berusaha sebisa mungkin, namun blind spot tetap ada Mba. Itu diluar kontrol kami."

"Kalau begitu, put security di area blind spot atau mungkin kamera cctv. Tidak mungkin tidak ada cara untuk memperbaiki ini." Nadaku mulai naik.

"Tapi kenyataannya tidak semudah itu Mba. Tim kami..."

'Braak' aku tanpa sengaja menggebrak meja. "Anda kurang berusaha Pak."

Bosku menengahi. "Begini Pak Andri, kami butuh solusi dari Bapak sebagai vendor. Bapak pasti lebih tahu kondisinya. Besar harapan kami dapat terus bekerja sama dengan Bapak seterusnya, tapi jika kasus ini terjadi lagi, kepercayaan kami sebagai pelanggan bisa hilang."

Meeting selesai, Pak Andri dan timnya sudah pergi. Hanya tinggal si bos dan aku yang ada di ruangan.

"Laras, kamu ga bisa main marah-marah seperti itu. Mereka memang vendor tapi.."

"Bapak yang kurang tegas, Bapak tidak pernah tegas. Mereka jelek Pak. Harus berapa banyak ponsel hilang sampai Bapak mau bertindak." Aku emosi.

"Ya tapi tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan marah-marah. Ada cara lain Laras." Bosku mulai kesal.

"Cara lain apa Pak ? Menunggu ? Ini sudah 1 tahun dan mereka tidak berubah. Mereka tidak dapat dipercaya, saya tidak percaya mereka." Nadaku tinggi.

"Laras cukup !!" Bosku memotong marah. Suaranya tegas. "Jangan campur adukkan permasalahan pribadi kamu dengan pekerjaan. Tidak semua orang seperti pacar kamu yang tidak bisa dipercaya."

Kalimat itu menikamku, membuat semua memori tentang Ardi kembali datang. Air mata itu turun lagi. Aku benci Ardi yang membuatku kehilangan akal seperti ini, aku benci bosku yang mengingatkanku akan Ardi. 

"Bapak, keterlaluan.." Suaraku bergetar. Aku menangis pergi ke luar ruangan.

"Laras saya minta maaf.." Dia mengejarku dibelakang tampak sangat menyesal.

Sambil masih menangis, aku berlari menuju kamar mandi. Hanya tempat itu yang bisa aku pikirkan saat ini. Dijalan kami berpapasan dengan Pak Agus.

"Laras, hei kamu kenapa ?" Pak Agus bingung. "Lho Krish, Laras..."

Aku berlalu tidak menghiraukan. Setelah masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu, aku duduk ditoilet, masih menangis. Sakit hati tiga bulan yang lalu seperti berlangsung lagi. Rasanya luka itu kembali terbuka menganga.

My Boss and I [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang