Part 7 - Keputusan

7K 609 15
                                    

Jangan tanya kenapa aku bisa begini, atau kenapa dia bisa begitu. Aku tidak tahu jawabannya. Aku tidak cinta, pasti bukan cinta. Tapi aku tidak tahu apa namanya. Bosku masih menyebalkan, namun sekarang lebih mempesona. 'Gilak !' mungkin setahun yang lalu aku tidak akan menyangka bahwa aku yang sama bisa menganggap dia mempesona. Misalkan seperti kejadian siang ini.

"Sudah solat ? Solat bareng sama saya ?"

Atau kali lain. "Kamu ga bawa mobil ? Naik taksi lagi yuk sama saya. Hujan di luar."

  Tapi terkadang, dia masih menyebalkan. Sepertinya sifat bawaan. 

"Laras, kamu itu kerja di gudang, bukan di office. Bisa kan pakai rok yang lebih panjang, atau celana. Juga ga perlu dandan berlebihan. Saya tidak suka. Norak." Dia mendengus kesal.

Aku cuma bingung ditegur seperti itu. Panjang rokku selutut, aku tidak menggunakan make up, hanya lip gloss dengan merek sama yang sudah 1.5 tahun ini aku gunakan. Rambutku memang sedikit basah, karena aku bangun kesiangan dan belum ada teknologi mengeringkan rambut di mobil saat ini. Jadi bagian mana yang menunjukkan aku bermake up. Lalu kesempatan lain.

"Ga usah senyum-senyum sendiri. Jelek." Dia berlalu sambil pasang tampang sewot.

'Apa sih.' Aku bersungut dalam hati. Jam istirahat ini aku memilih untuk browsing internet.

Moodnya bisa berubah-ubah tanpa bisa diprediksi. Ini yang membuatku gelisah. Otakku mulai merekam, membawanya ke rumah dan me-rewind ucapan atau tindakannya di kantor. Aku mulai memikirkannya. Mulai mengamati gerak geriknya. Gawat. Aku tidak siap, belum siap. Masalah Ardi yang tidak mau pergi belum selesai, dan ini...hadeeehhh.

***

Tamu itu datang saat pertengahan tahun. Dua orang dari Telecom Singapore. Mereka ada disini karena sedang mengerjakan project selama 2 bulan lamanya. Namanya Ben. Tubuhnya yang tinggi besar dan wajahnya yang bersih membuat dia terlihat menarik. Aku bilang menarik, karena tampan itu relatif. Lagi-lagi aku tidak berusaha menjalin hubungan dengan siapapun. Kalau misalkan aku setuju makan siang dengan Ben aku pergi bersama-sama dengan tim yang lain. Tidak pernah berdua. Aku masih pusing dengan Ardi yang masih saja menghubungi. Lalu suatu sore.

"Hi Lara. How are you?" Kepalanya muncul dari jendela dihadapanku.

"Her name is Laras not Lara." Bos menyahut dari balik punggungku.

"Hi Ben. Can I help?" Aku tahu bosku memperhatikan dari belakang.

"Can I take you to dinner tonight ?"

"Okey, what would you and Dave prefer to eat ?" 

"No, Dave is not coming. It's just us. Can we ?"

"Hmmm.." Aku menimbang-nimbang. "Well, Ok then." Aku berpikir, 'one dinner won't kill me.'

Lalu malamnya Ben mengajakku ke salah satu Western resto di dekat kantor. Hebatnya malam itu aku bertemu dengan bosku, Dina dan Ibu Ria ditempat yang sama.

"Wow, its a very coincidence. Apparently we have the same favorite restaurant." Bosku berkata sambil tersenyum dengan lebarnya. Tanpa permisi dia ikut bergabung di meja yang sama dengan Ben dan aku.

Ibu Ria dan Dina bingung kenapa bisa ada aku di resto itu.  Sementara Ben terlihat kesal karena diganggu. Aku masih tidak curiga, aku berpikir kejadian itu benar-benar hanya kebetulan saja. Tetapi hari-hari selanjutnya, Ben masih dengan gigih ingin mengulang makan malam yang gagal. Setiap kali tawaran itu datang, kali itu pula bosku dengan kejamnya menambah tugas-tugasku. Kami tidak pernah makan malam sampai akhirnya Ben kembali ke Singapore.

Suatu saat di jam makan siang, Dina berkata dia curiga jika bos idolanya suka padaku. Aku hanya tertawa menanggapi.

"Lo ga suka sama dia kan Ras ? Lo kan berantem mulu, iya kan ?" Dina mencoba menegaskan.

My Boss and I [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang