Episode 10 : Crap

23 3 0
                                    

Rasa penasaran berakhir menjerumuskanku. Kurasa, aku menyukaimu.
-Vena-

...

Beberapa bulan sejak Raka yang mencegatnya di depan kelas. Setelah bicara bahwa Raka terlihat sangat menyedihkan waktu itu, Vena merasa agak menyesal. Pasalnya, Raka tak pernah muncul di depan matanya lagi.

Raka menghilang.

Pernah suatu hari Vena iseng mengajak Rachel pergi ke kafe tempat Starlight biasa manggung. Dan dia sangat terkejut saat tahu vokalis Starlight adalah Angga.

"Kak Angga?" ujar Vena waktu itu.

Dahi Angga mengerut. Pandangannya tak lepas dari Vena. Tak menyembunyikan raut keterkejutannya melihat sang mantan ada di depan mata.

Perlahan, Angga turun dari stage dan sedikit kasar menarik tangan Vena untuk menjauh dari kafe. Menyuruhnya masuk ke mobilnya, dan pergi ke suatu tempat yang saat itu Vena tak tahu.

Dan ternyata, mereka pergi ke tempat kencan favorit mereka, sebuah kafe bernuansa vintage yang terkenal akan ice creamnya.

"Ayo turun," ujar Angga sambil melepas sabuk pengamannya.

Vena menurut dan mengekor. Dia duduk di hadapan Angga yang sedang sibuk melihat buku menu.

"Kak Angga, ngapain kita kesini?" ujar Vena.

"Makan ice cream,"

Gemas, Vena berujar lagi. "Maksudku kalau hanya sejedar makan, kan bisa di kafe tadi. Nggak perlu kakak jauh-jauh nyetir buat makan ice cream disini,"

"Disini ice cream nya enak."

"Kak, saya serius,"

Perlahan, Angga meletakkan buju menu diatas meja. Mengintimidasi perempuan di depannya lewat sorot matanya.

"Gue juga serius. Lo pesen ice cream nggak? Gue mau pesen,"

Sedikit menatap Angga takut-takut, Vena menjawab dengan anggukan. "Mau ice cream vanilla aja kak,"

"Oke. Gue pesenin,"

Manik mata Vena tak henti-hentinya mengawasi Angga yang sedang memesan ice cream. Bohong jika rasa suka kepada Angga itu tidak ada. Buktinya, darah dalam diri Vena masih berdesir hebat saat Angga menarik tangannya.

"Oke, udah gue pesenin," Angga menarik kursi, "Lo tadi ke kafe ngapain? Cari Raka?."

Tersadar, Vena langsung menegapkan posisi duduknya. "Iya, saya mau cari Kak Raka,"

"Udah, lo nggak perlu baku-baku ke gue. Pakai lo-gue aja, biasanya juga gitu kan, dulu,"

Raut tak nyaman mendominasi muka Vena. Kenangan mereka berdua dulu sekelebat muncul. Dan itu, menyesakkan Vena.

"Oke, gue gak akan baku-baku ngomong ke lo, Kak. Sekarang beritahu gue dimana Kak Raka? Gue udah cari dia di kelasnya tapi dia nggak ada,"

Hening sebentar. Pelayan mengantar pesanan mereka dan menatanya di atas meja. Usai mengucap terima kasih, mata Angga menatap Vena sendu.

"Sebelum gue jawab Raka ada dimana, lo harus jelasin posisi lo sebagai apa dalam hidup Raka. Pacar, teman, sahabat, atau musuh?"

"Penting banget ya posisi gue sebagai apa dalam hidup Kak Raka? Anggap aja gue adik kelas yang nyari Kak Raka buat nagih hutang," ujar Vena kesal.

"Nggak. Lo mesti bilang dengan jelas posisi lo sekarang sebagai apa," tuntut Angga.

Geram karena pembicaraan ini yang tak kunjung berhenti, Vena membentak Angga kasar, "Gue cuma adik kelas nya, Kak! Lo ngerti nggak sih?!"

Terkejut akan respon Vena, Angga menatap Vena garang. "Adik kelas aja? Yakin? Lo nggak pernah bisa bohongin gue, Ven. Gue kenal lo,"

Emosi Vena sudah memuncak. Peduli amat dengan rasa cinta bertepuk sebelah tangannya, Vena tak peduli. Sekarang dia menatap Angga penuh rasa kesal dan benci.

"Jangan pernah kira lo tahu segalanya soal gue! Lo nggak tahu apa-apa!"

Vena beranjak dari kursinya tanpa sedikitpun menyentuh ice creamnya. Dia sedikit berlari saat keluar dari kafe. Dan sekarang, dia baru sadar bahwa dirinya berada jauh dari rumahnya.

"Naik taksi, gue nggak ada duit. Argh, sialan emang si Angga," gerutu Vena.

Diiiiin.

Suara klakson mengagetkan Vena. Dia memutar tubuhnya ke sumber suara dan mencebik kasar saat tahu Angga lah yang menyebabkan suara itu.

"Masuk, gue antar lo pulang," teriak Vena.

Terpaksa dengan langkah gontai, Vena masuk ke dalam mobil Angga.

"Gue tetep nggak akan bilang dimana Raka sampai lo menegaskan posisi lo,"

Vena kesal. Angga sekarang sudah umur berapa sih, bisa-bisanya mengungkit hal remeh seperti itu seperti anak kecil. Lelah, akhirnya Vena menjawab asal, "Gue pacarnya, kenapa?"

Tiba-tiba, Angga mengerem mobilnya kasar. Tubuh Vena nyaris terantuk dashboard seandainya dia tak mengenakan sabuk pengaman.

"Heh lo gila ya Kak? Mau bikin gue mati?!"

Angga menatapnya penuh amarah. Hal ini membuat nyali Vena menciut.

"Lo pacaran sama dia? Lo bohongin gue kan?"

"Kakak sebenarnya mau gue jawab gimana sih? Gue jawab cuma adik kelas, nggak percaya. Sekarabg gue bilang gue pacarnya Raka, nggak percaya juga. Mau kakak apa?"

Angga terdiam. Tatapannya kembali ke depan tanpa merespons pertanyaan Vena. Sebenarnya dia juga merasa geli sendiri kepada dirinya. Mengapa dia menjadi sensitif seperti ini.

"See? Kakak diam aja kan? Bilang saja kak kalau kakak nggak tahu dimana kak Raka. Gitu kok ribet tanya-tanya hubungan gue apa,"

Akhirnya baik Vena dan Angga sama-sama diam. Sepertinya topik Raka menjadi sangat sensitif semenjak perkataan Vena membungkam Angga.

"Sudah sampai," ujar Angga.

Vena celingukan melihat rumah dengan pagar kayu di depannya. Merasa itu bukan rumahnya, Vena mengeryit heran.

"Ini rumah siapa?" ujar Vena dengan nada malas.

"Raka. Kata lo, lo pengin ketenu Raka. And litteraly, i'm not lying. Gue tahu dimana Raka dan gue anterin lo ke dia. Kurang baik apa gue sebagai mantan lo," ujar Angga.

"Terserah. Ya udah, gue turun. Thanks udah nganterin," jawab Vena lalu turun dari mobil Angga.

Mobil Angga pun melaju dengan kencang. Meninggalkan Vena dengan asap-asap yang menyesakkan dada.

"Okay. Ayo, Vena, lo bisa. Lo harus minta maaf sama kak Raka,"

Baru Vena mau menekan bel, pagar kayu pun terbuka. Menampilkan sosok perempuan yang dulu pernah Vena kenal.

Kakak kelasnya, Letta.

---

Still Waiting For A Reason✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang