Sepertinya baru kemarin Raka melihat wajah Letta setelah lama tak bersua. Nyatanya, dia melihat Letta lagi di sekolah. Letta memutuskan untuk bersekolah di SMA yang sama dengan dirinya di kelas yang sama pula.
"Perkenalkan nama gue Letta, salam kenal ya!"
Suara riuh anak laki-laki mulai terdengar. Mereka terlihat bersemangat, apalagi saat Letta tersenyum dan menata rambutnya ke belakang.
Keriuhan itu reda setelah guru Kimia masuk kelas. Pelajaran berlangsung tertib lantaran beberapa anak serius memperhatikan dan sisanya tertidur pulas.
"Rak, nanti sore ke rumah Angga yuk," ujar Letta yang duduk di samping Raka.
Raka menatap Letta sekilas, lalu memberikan anggukan sebagai jawaban.
"Dih, masih aja males ngomong. Eh eh, Angga sekarang kok tambah tinggi ya? Perasaan dulu masih tinggian gue,"
"Iya," jawab Raka sekenanya. Matanya masih tertuju pada guru yang sedang mengajar di kelas.
"Ih, Rak, lo kok cuekin gue mulu sih," kata Letta dengan nada sedikit naik.
Sontak, beberapa pasang mata tertuju kepadanya. Bahkan guru Kimia sempat melayangkan tatapan tajam yang disambut Letta dengan cengiran.
"Diam dulu waktu pelajaran, nanti aja ngobrolnya," ujar Raka.
"Oke deh, maaf maaf," jawab Letta.
Letta berhenti berbicara dan serius memperhatikan pelajaran. Kadang-kadang, matanya tak berhenti menatap Raka yang serius mencatat sambil sesekali bergumam karena merasa paham akan pelajaran yang diajarkan.
Duh, Rak, lo kok nggak berubah sama sekali. Apa.. perasaan lo buat gue dulu juga masih sama?
"Rak, gue-"
Kriiing, bel istirahat berbunyi. Letta mengerjapkan matanya karena sadar bahwa tangannya sudah berada di pundak Raka, bermaksud memanggil Raka.
"Kenapa? Mau ngomongin apa?"
Terdiam, Letta mengurungkan pertanyaannya seputar perasaan Raka terhadapnya.
"Enggak, gue cuma mau bilang, kita ayo jalan-jalan Sabtu ini. Eh, ajak juga tuh cewek lo hangout bareng kita," ujar Letta.
"Cewek gue?" Raka mengeryit heran.
"Yang waktu gue ke rumah lo itu. Cewek lo kan?" tanya Letta.
Please, jawab nggak. Gue masih belum siap lo punya pacar.
"Oh, si Vena. Bukan, dia bukan cewek gue," jawab Raka.
Letta tersenyum menang. Hatinya lega saat mengetahui bahwa Vena bukan pacar Rak-
"--but soon, she'll be mine. Gue suka dia," ujar Raka datar. Setelah itu, dia kembali melanjutkan pekerjaannya merapikan buku dan memasukkanbya ke dalam tas.
Dunia Letta saat itu, ambruk.
"Let, nggak mau ke kantin?"
Letta masih tercengang atas info dari Raka. Pandangannya tiba-tiba kabur karena air mata, dan sialnya, air mata itu meluncur dari pelupuk matanya.
"Hey, lo kenapa?"
Letta menangis. Benar-benar sakit. Padahal dia sudah memutuskan untuk melupakan cintanya kepada Raka.
"Gak tahu, tapi rasanya sesak, Rak. Gue nggak tahuu," ujar Letta masih menangis.
Teman-teman sekelas yang belum beranjak pergi ke kantin menatap keduanya heran.
"Ikut gue, disini banyak orang," ujar Raka lalu menarik tangan Letta pergi.
Mereka lalu pergi ke taman belakang kelas. Saat ini taman sedang sepi karena beberapa anak lebih banyak yang nongkrong di kantin daripada di taman.
"Lo kenapa nangis, hm?" tanya Raka sambil menatap Letta lekat-lekat.
Airmata Letta sudah berhenti sedsri tadi, tapi sesekali dia sesenggukan. Raka dengan sigap menyerahkan air mineral yang sedari tadi ia bawa, tahu jika Letta akan membutuhkannya.
"Minum dulu, habis itu cerita ada apa," ujar Raka lagi.
Letta terdiam. Matanya menatap sekitar, yang penting bukan ke arah Raka. Dia berusaha sekuat tenaga untuk tak menjatuhkan air matanya lagi.
Lo kejam banget, Rak. Lo seharusnya tahu gue sakit hati karena perkataan lo, dan sekarang lo tanya, gue kenapa?
Lo gak bisa buat gue sedih lebih dari ini."Gue nangis karena lo. Karena lo udah menghancurkan benteng yang udah gue bangun tinggi-tinggi gitu aja. Hanya karena perkataan singkat lo," ujar Letta buka suara.
Raka sedikit mengerutkan alisnya. "Maksud lo? Gue gak paham,"
"Lo nggak perlu paham. Lo cuma butuh tahu aja kalau gue nggak suka lo suka sama cewek lain," ujar Letta.
"Wait, maksud omongan lo apa ya, Let? Jujur, gue sebenarnya paham kemana arah pembicaraan ini, tapi gue nggak mau berprasangka dulu. Jadi, jelasin dengan benar ke gue, biar gue paham dan meluruskan semuanya,"
"Lo seharusnya tahu,"
"Tahu apa, Letta? Tunggu-- jangan bilang, lo beneran masih suka sama gue?" tembak Raka.
Letta sedikit terkejut. Raka tahu akan perasaannya, tapi mengapa responnya seperti ini? Tidakkah ada rasa bersalah atau mengasihani dalam diri Raka untuknya?
"Rak, apa perasaan gue buat lo sama sekali nggak ada artinya? Kenapa, kenapa lo dengan entengnya nanya soal perasaan gue dengan sebegitu gampangnya?" cecar Letta. Kali ini, tangisannya turun dengan cepat.
"Bukan gitu maksud gue, Let. Argh, berhenti nangis, Let, gue gak bisa lihat lo begini," ujar Raka sambil mengusap wajahnya kasar. Raka kalut.
"Terus maksudnya gimana?! Jelasin ke gue semuanya! Kenapa lo nolak gue dulu? Kenapa sekarang lo dengan gampangnya bisa melupakan gue dan malah suka sama cewek lain? Gue selama ini lo anggap apa, Rak? Kenapa lo nggak pernah merasa bersalah dan jaga perasaan gue
Kenapa... kenapa lo nggak bisa bales perasaan gue," cecar Letta.
"Letta, lihat gue," ujar Raka. "Maaf kalau semua perkataan gue nyakitin lo. Gue, nggak maksud begitu. Let, maafin gue, gue bener-bener minta maaf,"
Letta menatap kelamnya mata Raka. Dia menyesal, Letta tahu itu. Raka menyesal telah menolaknya dulu, tapi penyesalan itu buat apa? Jika dipikir lagi, percuma Raka mengutarakan maaf, percuma Raka menyesal karena menolaknya, percuma Raka mengasihaninya kalau pada akhirnya, Raka tak mencintainya.
"Lo tahu sesuatu, Rak? Ternyata keputusan gue buat balik ke Indonesia ini salah. Seharusnya gue gak perlu balik ke Indonesia dan bertemu lo.
Gue kira, rasa suka gue gak sebesar ini, nggak semenyakitkan ini. Gue rasa, gue beneran cinta sama lo. Gue gak bisa kalau nggak sama lo," ujar Letta.
"Itu bukan cinta, Let. Itu obsesi. Lo terobsesi sama gue,"
"Nggak, Rak, ini cinta,"
Raka maju memeluk Letta. "Sebenarnya, seberapa banyak gue nyakitin lo, Let? Kenapa lo jadi kaya gini," ujar Raka sambil mengelus puncak kepala Letta.
"Lo nyakitin gue terlalu banyak. Seharusnya, lo nerima gue dari awal. Lo kan juga suka sama gue waktu itu, Angga yang cerita,"
Raka melepaskan pelukannya. "Gue waktu itu memang suka sama lo, tapi, gue gak bisa. Rasa suka gue gak da apa-apanya dibanding Angga. Gue gak bisa kalau harus jadi penikung teman gue sendiri, meski pada akhirnya Angga tetep musuhin gue.
Terserah lo mau bilang gue sok suci atau apa, tapi yang jelas, itu prinsip hidup gue. Gue gak mau dapetin sesuatu dengan usaha yang gak sebanding. Dan gue rasa, rasa suka gue gak sebanding dengan rasa suka lo ke gue.
Jadi, gue milih mundur,"
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Still Waiting For A Reason✔
Teen FictionAdalah empat insan yang mencari sebuah alasan sebagai cara untuk bertahan. Adalah empat insan yang ingin bersama, namun semesta terlalu kejam untuk tak mewujudkannya. Adalah empat insan yang saling menyalahkan, terjebak dalam kubangan yang sama, me...