Episode 12 : Circle

16 3 0
                                    

Aku akan membuang segalanya hanya untuk kembali bersamamu, Rak
-Letta-

Bulan bersinar terang. Denting piano dari permainan Letta membuai keluarga besar itu. Maksud besar di sini adalah Papa, Mama, dan Andreas. Sudah lama Letta tak bersama mereka seperti ini. Papa tampaknya sangat menikmati momen seperti ini. Putri satu-satunya sudah kembali dari Australia setelah merengek meminta pindah sekolah beberapa tahun lalu.

"Pa, aku mau pindah. Kemana aja,"

"Maksud kamu apa, Letta?"

"Aku nggak mau sekolah di sini. Aku mau pindah,"

Papa mendekat untuk memeluk Letta. Lalu dibisikannya pelan, "Kenapa Letta mau pindah, hm?"

Letta tak segera menjawab. Dia hanya diam sampai Papa mengurai pelukannya.

"Mau cerita? Siapa tahu setelah cerita kamu bisa pindah sekolah?"

Tergiur oleh penawaran itu, akhirnya Letta mengatakan alasannya pindah.

"Aku nggak mau ketemu Raka, Pa. Aku malu,"

"Kenapa?"

"Habis, Raka nolak aku. Aku beneran malu dan nggak tahu harus gimana. Kita udah berteman tiga tahu, dan aku sudah menghancurkan semuanya. Seharusnya aku nggak perlu mengutarakan perasaanku. Ya kan, Pa?"

Papa hanya tersenyum simpul. Dia lalu berbalik menuju ruang kerjanya.

"Pa, jadi gimana ini?" ujar Letta sambil mengikuti Papa nya ke ruang kerja.

Papa menarik laci mejanya. Diambilnya selembar kertas dan diberikannya ke Letta.

"Apa ini, Pa?"

"Baca aja,"

Letta nengangguk lalu membaca kertas itu. Ternyata, itu adalah surat cinta yang pernah Papa berikan kepada Mama.

"Ini.."

"Iya, surat cinta. Papa dulu waktu seumur kamu pernah kasih surat itu ke Mama kamu. Setelahnya, Papa ditolak. Dan sama seperti kamu, Papa malu sekali. Papa nggak mau masuk sekolah. Ingin pergi atau pindah aja. Tapi, Kakek kamu bilang ke Papa. Katanya dulu, ngapain kamu malu? Toh namanya menyatakan perasaan juga ada konsekuensinya kan? Diterima atau tidak, kamu harus terima dengan benar. Nggak usah malu atau apapun itu, karena itu sudah konsekuensinya. Kalau sudah berbuat, setidaknya Papa harus bertanggung jawab dengan benar, termasuk bertanggung jawab menata perasaan Papa sendiri. Setidaknya, setelah menulis surat itu, hati Papa jadi lega. Kamu juga, kan?"

Letta mengangguk.

"Rasa malu itu pasti ada. Tapi, jangan biarkan itu menguasaimu. Buat rasa lega setelah mengutarakan semuanya itu sebagai pedang. Lawan rasa malumu. Kamu pasti bisa,"

Letta menunduk, lalu menggeleng pelan. "Aku nggak bisa seperti Papa. Aku benar-benar nggak bisa kalau ketemu Raka lagi,"

"Raka bagaimana? Dia sudah nggak mau ketemu kamu? Angga? Kamu mau ninggalin mereka berdua begitu?"

"Nggak masalah. Mereka pasti bisa mengerti. Yang terpenting, aku terbebas dari rasa malu ini, Pa. Aku mau berpikir lebih logis."

Papa hanya menghembuskan nafas lelah. Disisi lain, dia tak ingin putrinya pindah sekolah, karena dia sudah kelas tiga, sudah mau UN, dan mengurus kepindahan saat kelas tiga itu sulit. Tapi, dia tak tega melihat anaknya seperti orang kehilangan akal hanya karena malu ditolak.

Still Waiting For A Reason✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang