Episode 4 : Pojok Kafe Malam Itu

27 3 0
                                    

Bintang yang bersinar paling terang itu, tidak lebih terang daripada kamu.
Raka

"Jadi, kamu sama kakak kamu kembar?"

Raka menyesap cappuchino nya sambil mengangguk. Berbohong sedikit harusnya tidak apa-apa. Lagipula Vena maupun fans Starlight pun tidak akan menyadari kalau Raka, si cupu sekolah, ternyata adalah Kara, vokalis Starlight.

"Ada yang mau lo tanya lagi?"

Vena menggeleng lalu melihat jam tangannya. Tersadar kalau dia sudah terlalu lama bersama Kara, dia beranjak dari duduknya, bermaksud pulang. Namun, perkataan Kara menghentikannya.

"Kenapa lo kepo soal kakak gue? Lo suka dia?"

Vena kembali ke tempat duduknya.

"Bukan. Saya bahkan nggak mengenal kakak kamu. Saya hanya penasaran dengan kakak kamu yang tiba-tiba datang ke kelas saya, lalu..."

"Lalu apa?"

"Tidak. Tidak ada. Yeah, i'm just curious about your sibling, Raka. His looking so nerd but i know, he just pretend,"

Hampir saja Raka tersedak minumannya sendiri setelah Vena berkata seperti itu. Pikiran Raka berkelana kemana-mana, khawatir kedoknya akan terbongkar.

"Raka dan Kara. Kalian mirip tapi sayangnya kehidupan sosial kalian berbeda jauh sekali. Kehidupan Raka yang sepertinya penuh akan rasa sepi sementara kamu yang selalu berada dalam keramaian. Itu karena kamu lebih terang daripada Raka. Kamu terang dan menyilaukan, Kar, tidak seperti kakak kamu," ujar Vena lalu menyesap greentea nya.

Raka hanya tertegun mendengar penuturan Vena. Perempuan didepannya begitu naif, idealis pula. Diluar dia seperti tak menghiraukan orang lain, tapi ternyata, dia mengamati setiap orang yang dia temui. Raka contohnya.

"Lo tertarik sama Raka?" tanya Raka.

"Kenapa kamu berasumsi seperti itu?"

"Yaaah, karena ya gitu. Lo kaya antusias banget cerita soal Raka,"

Vena tertawa. Dan dari tawanya, membuat jantung Raka berdebar melebihi ritmenya. Lebih berdebar daripada saat bertemu Letta.

"Biasa saja. Cuma apa ya, saya agak kasihan dengan Raka. He's so lonely. Kamu nggak ngajarin dia jadi anak gaul kaya kamu?"

Itu emang strategi gue biar bisa hidup tentram di sekolah, pikir Raka.

"Kar?"

"Eh?!"

"Kamu nggak ngajarin kakak kamu supaya jadi lebih gaul? Lebih terbuka gitu?" tanya Vena lagi.

Raka menggaruk tengkuknya kasar. Bingung harus berbohong seperti apa lagi. AC kafe malam ini begitu dingin, tanpa sadar jam juga sudah menunjuukan pukul delapan malam.

"Eh, lo nggak balik?"

Vena yang memainkan smartphone nya langsung menatap sumber suara. Sejak tadi dia menanti jawaban Raka namun yang dia dapat malah sebuah pertanyaan.

"Nanti saja, sudah terlanjur ijin keluar malam sama Ayah. Ya meski saya bilangnya keluar sama Rachel. Kamu ceritanya ini ngusir saya?"

"Nggak gitu, Ven. Ah gue capek lo pakai saya-kamu ke gue, Ven. Berasa ngomong sama nyokap,"

Vena tertawa lagi. Dan sekali lagi, hati Raka berdebar lagi.

"Ya ya, saya kasian lihat kamu frustasi gitu," Vena menyeruput minumannya, "Jadi pakai lo-gue ini?" tanyanya sambil menaik-turunkan bahunya.

Wajah sumringah Raka mulai terpancar. Dengan cepat dia mengangguk seperti anak anjing yang baru diajak bermain.

Mengemaskan, pikir Vena.

"Cuma lo loh, cowok yang betah ngomong sama gue," cerocos Vena.

"Entah kenapa gue nyaman ngobrol sama lo. Lo juga nggak?" lanjut Vena.

"Juga apa?" tanya Raka cengo.

"Gak jadi. Eh tadi jawab pertanyaan gue dong,"

Alis Raka tertaut. Sadar akan pertanyaan yang dimaksud oleh Vena, Raka memajukan sedikit kursinya ke depan, bermaksud lebih mendekat ke arah Vena.

"Hmm, Raka itu tipikal orangnya emang kaya gitu. Gue udah sering ajak dia jadi lebih kaya gue lah, udah sering banget ajak dia keluar bareng, tapi orangnya malah seringnya belajar mulu. Capek gue ngajaknya," ujar Raka kembali berbohong.

Pipi Vena mengembung karena memakan cheesecake nya. Dia mengangguk paham lalu meminum minumannya.

"Yah, saya lihatnya juga gitu. Kak Raka sepertinya bukan tipikal orang yang bisa diajak gaul," ujar Vena.

"Lo balik ke saya-kamu lagi loh, Ven. Nyadar nggak sih, lo sama kakak gue itu setipe? Sama-sama tertutup, little introverd," pancing Raka.

Vena menyisir rambutnya pelan dengan jemarinya. "Ah iya kelepasan balik ke saya-kamu lagi. Masih belum terbiasa," Vena tertawa.

"Gue sama Kak Raka kelihatan setipe ya? Gue terlihat introverd banget?" Vena melanjutkan.

Kontan Raka mengangguk. Tangannya lalu terangkat ke atas bermaksud meminta bill ke pelayan. Setelahnya dia kembali menatap Vena, menunggu kelanjutannya.

"Yaah, mau gimana lagi, emang gue nya aja yang kaya gini. Gue cuma apa ya, takut?"

"Takut karena?"

"Everything. Kadang gue mikir buat gak ngomong sama orang saja sekalian. Gue nggak mau punya masalah sama orang lagi,"

"Lo pernah punya masalah?"

"Not a big problem, sih. Cuma gara-gara cowok. Lucu nggak sih?" kekeh Vena.

"Masa sih? Lo nggak kelihatan pernah riwayat punya masalah sama cowok," tanya Raka antusias.

"Harus gitu banget ya jelekinnya. Iya, gini-gini saya---gue, pernah punya masalah sama cowok. Makanya gue agak was-was waktu lo godain gue pas konser kemarin,"

"Tapi sekarang, masih was-was?"

"Nggak sih, tapi masih ada sedikit. Memang gak baik sih kasih stereotype ke semua cowok kalau mereka brengsek hanya karena gue pernah dibrengsekin sama cowok,"

"Wah, gue kepo tahu jadinya. Lo sampai brengsek-brengsekin cowok segala,"

Vena hanya tertawa. Setelahnya, mereka mengakhiri percakapan mereka.

"Mau gue anterin? Gue bawa motor," tawar Raka.

Vena menggeleng pelan sambil menyatukan telunjuknya dengan ibu jarinya. Memberi tanda oke ke Raka. Raka mengangguk pelan dan berjalan ke parkiran untuk mengambil motornya. Vena memandang punggung Raka yang berjalan menjauh, tangannya tanpa sadar terangkat seolah ingin menggapai sosok itu.

Sadar akan tindakannya, dia turunkan tangannya dan tersenyum kecut.

"Kara. Kamu kira saya bodoh untuk tidak mengetahui kalau kamu itu Raka?" ujar Vena sambil memegang kartu identitas di tangannya.

Setelahnya, Vena menyetop taksi untuk pulang ke rumahnya.

...

Still Waiting For A Reason✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang