10

119K 12.7K 768
                                    

Arlita bergidik ngeri saat kata-kata, "Aku cinta kamu, Arlita," kembali berputar di kepalanya. Sudah seminggu lebih kejadian itu berlalu namun anehnya kata-kata itu masih saja terus menempel di kepalanya.

Revan hanya bercanda. Ya, Revan mengatakan itu hanya bercanda bukan serius. Lagi pula mana mungkin Revan mencintainya.

"Ih ngapain sih mikirin Revan," gerutu Arlita. Dia beranjak dari posisi duduknya lantas berdiri di depan jendela menatap hujan yang kembali turun. Tanpa dapat dicegah matanya kembali menatap ke arah lapangan basket, disanalah Revan menyatakan cintanya yang ternyata palsu, "Astagfirullah...," Arlita beristighfar saat lagi-lagi dia malah mengingat Revan.

Jujur setelah kejadian itu dia merasa ada yang aneh pada dirinya, dan itu membuatnya tidak merasa nyaman.

Ponsel yang Arlita simpan di atas meja belajarnya bergetar, dia menghela napas malas saat melihat id si penelepon.

"Assalamualaikum," jawab Arlita tanpa minat sedikitpun.

"Waalaikumsalam. Kok suara kamu Males gitu?"

"Emang lagi males," jawab Arlita jujur.

"Ih kamu mah gitu. Pokoknya hari ini kamu harus ikut. Awas aja kalau nggak ikut! Aku bakal marah sama kamu! Marah banget!"

"Emang jadi? Hujan tahu!"

"Hujan air ini bukan hujan batu."

"Lucu banget sih kamu," ucap Arlita dengan nada kesal.

"Emang lucu. Pokoknya jam sembilan kamu harus udah ada di stasiun. Aku sama Nada bakal tungguin kamu. Ingatlah loh Tha kamu udah janji kalau nggak ditepati aku bakal nagih janji kamu di akhirat."

"Kamu Jahat. Aku kesel sama kamu!"

"Aku sayang sama kamu haha... Udahan sana siap-siap. Nanti kamu dijemput sama Revan yah!"

"Nggak usah dijemput aku bisa naik angkot!'

"Ya Allah Tha. Apa sih salahnya dijemput sama Revan. Tenang aja kalian nggak bakal cuma berdua di dalam mobil soalnya adaDika sama Nenden juga."

"Nen..Nenden ikut?"

"Iya. Revan kekeh pengen ngajakin dia. Kamu nggak cemburukan?"

"Ih apaan sih. Yaudah aku mau siap-siap dulu. Wassalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelah menutup panggilan dari Sri bukannya siap-siap Arlita malah kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia memejamkan matanya, berusaha untuk menetralkan hatinya yang terasa tidak nyaman.

Sebenarnya ini perasaan apa?

Ketukkan di pintu menyadarkan Arlita dari kesibukannya memikirkan perasaan yang terus saja mengganggu pikirannya. Dia beranjak dari atas tempat tidurnya, lantas membuka pintu kamarnya, namun dengan cepat dia tutup kembali. Jantungnya berpacu dengan begitu cepat, perlahan tangannya menyentuh kepalanya. Rasa takut seketika dia rasakan... Ya Allah dia tidak memakai kerudung dan yang berdiri di depan pintu kamarnya yang dia kira Kakaknya ternyata adalah Revan. Berulangkali Arlita beristighfar... Tak terasa air mata membasahi pipinya. Dia benar-benar merasa menyesal. Kenapa tadi dia tidak memastikan dulu siapa yang mengetuk pintu kamarnya? Kenapa dia tidak menggunakan kerudungnya saat membuka pintu?

Di depan pintu yang kembali tertutup Revan tertegun. Sama halnya dengan Arlita jantungnya berdetak dengan sangat kencang. Berulangkali dia merutuki dirinya. Kenapa tadi dia malah menyetujui permintaan Rio untuk langsung menuju kamar Arlita? Sekarang apa yang harus dia lakukan? Dari tempatnya berdiri dia dapat mendengar suara isak tangis Arlita.

HUJAN | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang