25

122K 12.5K 2K
                                    

Jam setengah empat Revan sudah bangun dari tidurnya. Bukan untuk melaksanakan shalat tahajud karena memang dia belum mempelajari bagaimana tatacara shalat tahajud, tapi dia bangun untuk pergi ke rumah Arlita, bukan untuk menemui Arlita tapi untuk menemui Rio. Dia ingin shalat subuh pertamanya dengan Rio.

"Jam berapa Van? Kok loh udah siap-siap sekolah?" tanya Nino.

"Jam setengah empat," jawab Revan sambil mengancingkan kancing seragamnya.

Nino membuka matanya, dia menatap Revan dengan pandangan bingung, "Jam setengah empat apa? Subuh apa sore?"

Revan melemparkan bantal ke wajah Nino, "Udah lo tidur lagi aja kak."

Nino balik melemparkan bantal ke wajah Revan, dia mulai beranjak dari posisi berbaringnya, duduk di pinggiran kasur, "Gila baru setengah empat subuh dan lo dah mau berangkat sekolah?!" seru Nino setelah melihat jam dari ponselnya, "Lo mau ngapain berangkat subuh-subuh. Jangan bilang kalau lo selain pelajar merangkap juga sebagai tukang cireng  yang jualan di kantin sekolahan lo. Yang datangnya harus pagi-pagi banget soalnya harus nyiapin cireng yang mau dijual."

Sebelah alis Revan terangkat, "Lo lagi ngelucu?"

Nino menggaruk pipi kirinya yang pada kenyataannya tidak gatal, "Nggak lucu yah?"

"Nggak banget," jawab Revan jujur dari hati yang paling dalam.

"Parah lo. Bohong demi menyenangkan hati orang itu dapat pahala Van jadi seharusnya lo bilang gue lucu. Oh iya kenapa lo berangkat pagi-pagi banget?"

"Gue mau shalat subuh."

"Shalat? Tapi kok lo pake baju SMA sih kaya yang nggak punya baju lain aja?"

"Soalnya abis shalat subuh gue mau langsung pergi sekolah, jadi nggak usah bolak-balik."

Nino menganggukkan kepalanya, dia mengambil dompet yang ada di atas meja belajar Revan, "Nih buat lo. Inget baik-baik pin-nya 210294," Nino memberikan sebuah kartu debit pada Revan sambil menyebutkan pin-nya.

Revan menatap bingung kartu itu, "Buat apa?"

"Nanti siang gue dah harus balik ke Jerman. Gue nggak tahu apa yang bakal terjadi sama lo setelah bokap lo tahu kalau lo pindah keyakinan, jadi ini buat jaga-jaga kalau bokap lo... You know lah," Nino meletakkan kartu debit itu di atas tangan Revan, "Jangan dipake buat yang nggak bener."

"Emang isinya berapa?" tanya Revan saat telah memutuskan untuk menerima kartu itu.

"Cukup buat beli satu unit apartemen di Safrron Noble," jawab Nino santai menyebutkan salah satu hunian apartemen cukup elite di Bogor, dia kembali merebahkan tubuhnya dia atas kasur. Memeluk erat guling, siap untuk kembali menjemput mimpi yang indah.

Sedangkan Revan dengan cepat menghitung jumlah nominal yang ada di dalam rekening yang Nino berikan padanya, "Tu... tujuh ratus empat puluh juta?"

Nino yang belum benar-benar tidur menjawab, "Lebih deh kayanya. Lo kalau penasaran cek aja nanti di ATM."

"Lo beneran ngasih ini buat gue?" Revan mendudukkan tubuhnya di pinggiran kasur. Benar-benar luar biasa, Nino yang selalu pelit padanya sekarang malah memberikan uang yang nominalnya hampir mencapai satu miliar padanya.

"Iya buat lo," jawab Nino malas, matanya sudah tertutup rapat.

"Makasih Kak," ucap Revan tulus sambil memasukkan kartu debit itu ke dalam dompetnya.

Tidak ada sahutan dari Nino karena dia sudah kembali menjelajahi dunia mimpi.

Sebelum pergi Revan menyempatkan untuk masuk ke dalam kamar Mamanya. Mamanya tertidur lelap seorang diri, Ayahnya tidak pulang dan hal itu sudah sering terjadi.

HUJAN | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang