28

113K 12.2K 1.3K
                                    

Revan berubah, itulah yang Arlita rasakan. Dan mungkin bukan cuma Arlita yang merasakan perubahan Revan, hampir semua teman sekelas Revan mengeluhkan hal yang sama.

Semenjak kepergian Mamanya, Revan yang ramah menjadi dingin, dia jarang sekali tersenyum. Bila pun tersenyum, senyumannya tidak pernah sampai ke matanya.

Tidak ada seorangpun yang tahu apa yang dialami oleh Revan setelah kepergian Mamanya? Dia benar-benar tertutup.

"Ini untukmu," Arlita meletakkan bekal yang sengaja dia buat untuk Revan di atas meja.

Sekilas Revan menatap ke arah Arlita, "Makasih Tha," panggilan Revan pada Arlita pun telah berubah. Tidak ada lagi yang memanggil Arlita dengan sebutan Arl.

"Sama-sama. Jangan lupa dimakan," Arlita sudah hendak kembali ke tempat duduknya namun urung saat Revan memanggil namanya.

"Mulai besok dan seterusnya lo nggak usah buatin gue bekal lagi," Revan berucap dengan intonasi yang datar.

Arlita mengangguk kelu. Dia menghela napas panjang, berharap rasa sakit yang kini menyapa hatinya segera sirna.

***

"Kenapa mukamu mendung banget?" tanya Rio pada Arlita yang kini tengah menemaninya main basket.

Arlita tidak menjawab, dia terus saja mendribble bola basket menuju ring.

"Karena Revan kah?"

Tangan Arlita yang sudah siap melemparkan bola yang ada di tangannya menggantung di udara.

"Revan baik-baik saja Tha."

Arlita membiarkan bola basket terjatuh dari kedua tangannya, "Dia menjauhiku Kak."

Rio menepuk pucuk kepala Arlita, "Kalian berdua memang seharusnya saling menjauh Tha."

Arlita menatap Rio dengan pandangan bingung.

"Tanpa kalian sadari kedekatan kalian telah melewati batas."

"Maksud kakak?"

"Nanti akan tiba waktunya Revan sendiri yang akan menjelaskan semuanya padamu. Bersabarlah," setelah mengatakan itu Rio langsung pergi meninggalkan Arlita.

***

Di lain tempat. Tepatnya di cafe milik Marsha, Revan dan Dika tengah menghabiskan waktu santai mereka bersama.

"Lo yakin bakal tinggal di Jerman bareng Kak Anya sama Kak Anggara?" tanya Dika pada Revan yang kini ada di hadapannya, "Lo nggak takut apa cewek pujaan hati lo diembat sama cowok lain?"

Revan yang tengah menatap rintik air hujan dari dinding kaca yang ada di sampingnya menoleh pada Dika, "Kalau dia diembat cowok lain itu berarti dia bukan jodoh gue."

Dika mendengus, "Lo udah ngorbanin banyak hal Van."

Revan menggeleng, "Gue nggak ngorbanin apa-apa. Yang gue lakuin semuanya karena Allah."

Dika memutar bola matanya, "Serah lo lah yang penting lo bahagia."

Revan tertawa, tangannya menepuk bahu Dika, "Jangan kangen sama gue yah."

"Najis. Ngapain gue kangenin lo? Nggak penting banget!"

"Lo kan nggak pernah bisa pisah sama gue. Dari jaman SMP lo ngintilin gue mulu," Revan menaik turunkan alisnya, senang rasanya dapat menggoda Dika, sahabat terbaiknya yang beberapa minggu yang lalu sempat membencinya, namun kebenciannya tidak berlangsung lama.

HUJAN | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang