Enigmatic

1.6K 168 77
                                    

"Keluar kau, Anak Asu!" seru eomma seraya menggedor-gedor pintu. Entah pintu mana. Aku pun terpaksa harus bangun dan cari tahu. Dari celah pintu yang dibuat eomma menggunakan kapak, semalam, aku mengintip. Rupanya dia sedang menggedor-gedor pintu kamar Jihoon, adikku yang berusia setahun lebih muda, menggunakan sebilah kapak.

Rambut wanita tua itu masih awut-awutan seperti terakhir kali aku melihatnya dua hari yang lalu, sejak appa ditemukan tidak bernyawa dengan usus terburai dan bersimbah darah di dalam kamar. Eomma menuduh Jihoon sebagai pelakunya karena dialah yang pertama kali menemukan appa.

Tapi aku yakin bukan Jihoon pelakunya.

Eomma terus berteriak, berseru-seru memanggil Jihoon dengan sebutan Anak Asu dan menyuruhnya untuk keluar dari kamar. Wanita itu mengatasnamakan cinta ingin membalas kematian appa. Aku yakin, saat ini, Jihoon pasti sedang ketakutan.

Meringkuk memeluk lutut dan menangis seorang diri.

Tiba-tiba tubuhku bergetar hebat. Ada sensasi nikmat yang kuat mendesak dari bawah sana, menuju otak melalui pembuluh darah yang memberi perintah untuk berhenti pura-pura ketakutan pada kebrutalan eomma dan segera keluar dari ruangan ini, ketika mengingat tentang adikku itu.

Pelan-pelan kuputar knop dan mendorong daun pintu. Sebisa mungkin mencegah timbulnya suara yang akan mengalihkan perhatian eomma. Dengan langkah berjingkat dan hati-hati, aku bergerak melewati punggung eomma menuju dapur. Membuka lemari tempatku menyimpannya.

"Ya! Jihoon--sialan! Keluar kau! Kau tidak akan bisa sembunyi terus-terusan! Kemari kau, biar kuhabisi nyawamu seperti yang telah kau lakukan pada suamiku!" Suara eomma semakin nyaring saja. Aku pun bergegas meninggalkan dapur, menuju ruang tengah, tempat di mana eomma berada. Terkejut, wanita tua itu menghunuskan kapaknya ke depan wajahku. Matanya melotot. Mengancam. "Mau apa kau, huh?"

Namun, sepertinya dia tidak menyadari kedatanganku yang tiba-tiba ini dan memang sengaja tanpa bersuara. Terlihat jelas dari ekspresi wajah dan tangannya yang gemetar.

Aku sengaja tidak menjawab, hanya menyeringai sebentar dan dengan satu gerakan cepat berhasil memangkas kedua tangan eomma yang memegang kapak menggunakan parang yang kusembunyikan di balik punggung. Eomma menjerit kesakitan sejadinya.

Dia hendak menerjang tapi aku lebih dulu menebas perutnya lalu menghindar, hingga dia justru ambruk menghantam lemari kaca. Beberapa serpihan kaca menancap di kening, wajah bahkan bibirnya.

Eomma berguling-guling dan mengerang kesakitan di depanku.

Tanpa sadar aku tertawa.

Sebuah tawa lepas yang sudah kutahan sejak dua hari lalu, setelah berhasil menghabisi appa---lelaki penggila wanita yang sangat suka memukuliku ketika sedang marah atau setiap kali aku dianggapnya telah melakukan kesalahan seperti meniduri Jihoon, adikku sendiri.

"Dasar Anak Asu!" umpat eomma seraya memegangi perut dengan lengan buntungnya. "Mati kau, Soonyoung-sialan!" Tawaku semakin kencang dan membahana di rumah besar ini.

Rumah besar nan mewah yang ditinggali sekumpulan asu.

Puas tertawa, aku pun beranjak meninggalkan wanita murahan yang hobi bercinta dengan laki-laki mana saja termasuk [memaksa] aku. Membiarkannya mengerang kesakitan di lantai hingga mati kehabisan darah seperti appa.

Sepasang mata sipitku lantas beralih ke pintu kamar Jihoon. Kusembunyikan parang di balik punggung kemudian beranjak mengetuk pintu kamar adikku.

"Jihoon-ah, gwaenchanha. Buka pintunya." Aku pun membujuk Jihoon, adik laki-lakiku yang setahun lebih muda dariku, agar membukakan pintu. Sengaja kupelankan suaraku karena Jihoon tidak suka mendengar suara keras.

Tak butuh meminta dua kali, kepala Jihoon yang diliputi surai hitam legam seperti milikku sudah menyembul dengan senyum terukir di wajahnya.

Senyumnya itu membuat jemariku tidak tahan untuk tidak membelai lembut kening, kemudian berpindah ke pipi tembam, dan beringas mengulum bibir mungilnya.

Jihoon diam saja.

Dia sudah tahu dan tidak akan melawan lagi. Appa dan eomma sudah cukup jadi penguat kata-kata yang kuucapkan tempo hari; melawan berarti mati.

Kemudian aku beringsut menuntunnya masuk ke dalam kamar, tanpa melepaskan pagutan kami, untuk menikmati pagi ini dengan saling tenggelam dalam hasrat membuncah bersama adik laki-lakiku yang berusia setahun lebih muda, sekali lagi.

Tanpa gangguan dari dua orang dewasa yang menyebalkan itu.

enigmatic_
































(dz_13218)

EnigmaticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang