My I

602 73 20
                                    

'Mengapa?'

Jihoon bertanya-tanya, dalam hati.

Saat ini tubuhnya sudah ada di sekitar gedung Pledis inc., sebuah perusahaan besar yang memproduksi senjata api dan berkedok sebagai produsen sereal, tetapi hati dan pikirannya sedang ada di tempat lain. Tepatnya masih tertinggal di markas.

Sejak tadi ia bergerak tanpa menyadari apa pun termasuk wajah-wajah heran bawahannya yang terus memerhatikan tanpa kata.

Wakil Jihoon, Lee Seokmin, mengambil alih tugas untuk menjelaskan taktik serangan pada pasukan mereka. Anggota lain mengangguk dan sesekali bertanya jika masih ada yang belum dipahami. Jihoon sendiri hanya menatap kosong dalam diamnya. "Baiklah, segera menyebar dan lakukan tugas kalian!" Seokmin menutup rapat, sejurus kemudian mereka pun berpencar kecuali Jihoon yang masih terdiam.

Sebenarnya Seokmin tahu betul apa yang membuat pimpinan kelompok mereka jadi begini. Semalam, tanpa sepengetahuan siapa pun, ia melihat Jihoon menguping pembicaraan Kwon Soonyoung dan Lee Chan sesaat sebelum rapat besar penentuan target lokasi penyerangan selanjutnya dimulai.

Kwon Soonyoung adalah pimpinan organisasi mereka sementara Lee Chan adalah adik kandung Seokmin yang baru bergabung beberapa bulan. Dalam obrolan itu, keduanya tampak begitu mesra dan kenyataan itu sekaligus menghancurkan Jihoon.

Sebab Seokmin juga tahu tentang perasaan Jihoon pada pimpinan mereka. Namun, ia tak tahu kalau urusan semalam akan jadi serumit ini.

"Kapten, sudah waktunya menyerang." Seokmin berkata hati-hati seraya menepuk pelan pundak Jihoon. Hening. Tak ada respons. Seokmin ikut-ikutan menghela napas. Otaknya berputar, memikirkan cara untuk mengembalikan fokus Jihoon, sang striker sekaligus sniper terbaik Teen.Age, organisasi ilegal yang berisi pemuda pemberontak yang muak dengan omong kosong orang dewasa. "A--aku suka padamu!" Seokmin menahan napas sejenak, sedikit menyesal telah melakukan hal bodoh, banyak takutnya kalau-kalau nanti malah kena semprot.

Namun, apa yang terjadi justru di luar dugaan. Jihoon memang menoleh. Tapi hanya mengusap kepala Seokmin dan tersenyum tipis kemudian. Tidak ada satu kata pun yang terucap. Semakin memperjelas betapa dalam luka yang tercipta dalam diri pemuda mungil tersebut.

Seokmin mengerjap. Tanpa sadar ia sudah memeluk Jihoon dengan sangat erat, seolah tak ingin melepaskannya. Ia berharap bisa memberikan sedikit kekuatan untuk ketuanya itu.

Namun Jihoon, entah bagaimana, sepertinya sudah kembali meski tidak sepenuhnya. Ia memakai topi hitamnya dan langsung beranjak menuju titik fokus sesuai rencana tak lama setelah pelukan Seokmin terlepas.

Seokmin cukup lega bisa melihat wajah bulat Jihoon kembali antusias. Mereka berdua pun mulai bergerak menuju titik yang telah disepakati. Jihoon terlihat bersemangat ketika melangkah menuju kerumunan. Ia tampak gagah ketika mulai mengacungkan moncong pistol.

Suara tembakan pertama dari Jihoon menjadi tanda serangan dimulai, sesuai rencana.

Satu per satu suara ledakan terdengar dari berbagai titik. Keriuhan mulai terdengar. Jeritan, seruan, bahkan tangisan histeris mulai memenuhi jantung kota Seoul.

Jihoon masih memuntahkan timah panasnya secara membabi buta. Pasuka khusus pelindung negara mulai berkerumun. Membidik dan melepaskan timah-timah panas mereka ke arah Jihoon.

Meleset.

Jihoon balas menembak tak kalah brutal dan malah mengenai warga sipil.

Sementara itu Seokmin sudah terkapar dengan anggota tubuh tercerai-berai sebab dialah yang meledakkan bom pertama kali. Disusul ledakan-ledakan berikutnya dari anggota yang lain. Kini hanya Jihoon yang tersisa. Iruk-pikuk itu sudah dibidik mata lensa dan disebarkan ke seluruh penjuru Korea Selatan.

Satu per satu reporter televisi memberitakan ketegangan yang terjadi dalam aksi terorisme yang dilakukan Jihoon dan rekan-rekannya. Membasmi para muka dua yang dianggap menyusahkan banyak pihak.

Ponsel Jihoon berbunyi.

Ada nama Soonyoung tertera di layar ponselnya. Jihoon yang memutuskan untuk berdamai dengan hatinya pun membiarkan teleponnya terus berbunyi dan terjawab otomatis karena memakai headset.

"Ya! Babo-ya! Aku menyuruhmu ke gedung Seventeen corp., bukan ke Pledis! Kembali ke markas sekarang juga! Kau sudah membuang anggota kita, ara?!" Soonyoung berseru berang di seberang sana.

Namun, Jihoon tidak mendengarkan. Ia justru memotong kalimat berang Soonyoung dengan sebaris kalimat yang lama dipendamnya, meski harus melawan sesak di dada juga desakan di pelupuk mata.

Saat itu pulalah dua buah timah panas berasal dari sniper pasukan pelindung negeri menembus jantung dan ulu hati Jihoon. Pemuda mungil itu pun ambruk. Pistolnya terlempar jauh. Topi hitamnya terpental. Tubuhnya berdebam, menghantam trotoar. Darah segar meluber deras dari lubang yang diciptakan selongsong peluru tadi.

'Mengapa?'

Pertanyaan itu terlintas lagi. Sebuah pertanyaan yang terus saja berlalu-lalang dalam kepala Jihoon sejak melihat kemesraan Soonyoung dan Lee Chan. Hanya satu pertanyaan tapi mampu menciptakan jutaan denyut tak nyaman serta meluluh-lantakkan harapan yang dibangunnya dalam hati.

Ah, sudahlah.

Urusan tentang hati ini sudah selesai. Jihoon cukup tahu tentang fakta bahwa perasaan yang dipendamnya bertahun-tahun bahkan rela berlatih lebih demi mendapat perhatian sang pujaan sudah berakhir kini. Ia menarik seulas senyum pada ujung-ujung bibir dan seiring melambatnya denyut jantung, Jihoon menutup mata perlahan---untuk selamanya.

enigmatic_












































































(dz_25218)

EnigmaticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang