I Need You

422 49 0
                                    

Aku terjaga.

Rasanya seperti terjatuh dari tempat yang sangat tinggi tadi. Namun, ternyata hanya kakiku saja yang jatuh dari guling. Aku terpaksa bangun meski jarum jam baru menunjuk angka lima dan di luar sana langit pasti masih sangat gelap. Jika sudah terbangun dalam keadaan kaget begini, sulit bagiku untuk tidur lagi.

Aku memutuskan untuk menyeret langkah menuju kamar mandi.

Ketika sedang menyikat gigi, kulihat appa berjalan sempoyongan menuju dapur. Dia menendang tong sampah yang bertengger di dekat pintu. Bukannya merapikan sampah yang berserakan dari sana, appa justru mengumpatnya seperti mengumpat seseorang kemudian menuju kulkas dan mengambil sebotol minuman beralkohol.

Menenggak beberapa teguk lalu membawanya serta.

Selesai menyegarkan diri di kamar mandi, segera kupakai seragamku. Jarum jam menuju angka enam kini. Appa sudah di ruang tengah, menonton tivi sambil sesekali menenggak isi botol yang tergenggam erat di tangan kanannya. Seperti biasa.

Mataku tak sengaja melihat kalender yang terpantul di cermin saat sedang mengoleskan salep ke luka yang kudapat saat berkelahi kemarin. Tanggal duapuluh dua Desember. Begitu yang tertera di sana. Biasanya, hari ini diperingati sebagai Hari Ibu. Hari di mana semua orang yang pernah atau masih memiliki ibu memberikan kejutan untuk ibunya.

Ya, semua orang, kecuali aku. Tentu saja.

Kenapa?

Karena aku tidak pernah tahu apakah aku memiliki seorang ibu atau tidak. Seingatku, sejak kecil hingga kini, aku sudah hidup berdua dengan appa yang hobi mabuk siang dan malam. Padahal, jika boleh meski hanya sekali saja, aku ingin bertemu dengan wanita yang katanya sangat lembut dan hangat itu.

"Appa, di mana eomma?" Pertanyaan polos semacam itu sering kutanyakan pada appa ketika masih kecil dulu. Bukannya menjawab, dia justru menatapku dengan tatapan aneh. Seperti takut atau marah. Entahlah. Kemudian dia akan berlari ke dapur dan mengambil minuman beralkohol. Menenggaknya buru-buru seperti orang kehausan setelah berlari mengelilingi lapangan. Padahal sebenarnya appa bisa saja berbohong atau mengarang cerita tentang eomma agar aku lega dan tidak bertanya lagi.

Akan tetapi, dia tidak pernah melakukannya.

Mungkin appa tak pandai berbohong, dia lebih memilih untuk membiarkan ikat pinggang atau gagang sapu yang bicara padaku---pria tua itu akan memecut punggungku hingga menyisakan bilur berdarah. Begitu terus hingga usiaku menginjak empat belas tahun. Dua tahun berikutnya aku berhenti menanyakan tentang eomma. Aku malu berangkat ke sekolah dengan luka dan lebam di tubuh. Rasanya hatiku seperti terhambur berkeping-keping. Tak punya eomma dan appa-mu tidak pernah peduli padamu.

Namun, entah kenapa, hari ini aku ingin sekali menanyakannya lagi.

Patah-patah langkahku menghampiri appa yang tampak sedang melamun. Kutelan saliva yang terasa seperti kerikil. Ingin kuurungkan niatku, tapi sesuatu dalam diriku terus mendesak. Sekarang aku berada persis di samping sofa tempat appa duduk.

Tanganku gemetar ketika hendak menyentuh pundaknya. Bisa kurasakan peluh yang mengalir di pelipis. Ketika tanganku mendarat di pundak appa, jantungku seakan terhenti. Terlebih ketika dia menoleh dan pandangan kami bersitatap. Kata-kata yang sudah tersusun rapi di ujung lidah mendadak runtuh, terburai dan berjatuhan di lantai saat appa bertanya ada apa. Kontan aku menjadi sangat gugup.

Aku mengerjap. Tergagap.

"Eo—mma—"

Hanya kata itu yang tersisa. Namun, mata appa seperti hendak melompat ketika mendengarnya. Tampak jelas dia akan melemparkan botol minumannya padaku, kontan aku segera berlari keluar rumah. Sejurus kemudian, kudengar suara botol kaca yang hancur karena menabrak pintu yang baru saja menutup otomatis di belakangku.

EnigmaticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang