It's Too Late

711 106 35
                                    

Dia membenciku!

Bisa kulihat dari caranya menggenggam gagang pisau yang berkilatan diterpa cahaya lampu. Rahangnya mengeras. Sepertinya dia sedang menahan bahagia yang buncah ketika melihat tubuhku tergolek tanpa sehelai benang. Langkahnya perlahan menghampiri. Kemudian, mata pisau itu menyentuh kulitku.

Dia pasti membenciku!

Tentu saja. Sebab dia terlihat begitu semangat membedah perutku dan mengeluarkan isinya---usus, jantung, paru-paru bahkan kedua ginjalku. Dia tak peduli darah kental yang mengalir dan mengotori lantai. Kulihat ada seulas senyum di wajah bulatnya.

Dia sangat membenciku!

Setelah mengeluarkan semua organ dalam tubuhku, dia beralih ke pangkal paha.

Pisaunya pun berganti, lebih besar dari sebelumnya.

Hanya dengan dua kali ayunan saja, kedua kaki jenjang-berisiku pun terlepas dari pangkalnya. Kudengar dia terkekeh pelan sendiri. Kemudian beralih memotong kedua lengan dengan sekali tebas. Lagi-lagi dia terkekeh.

Dia pasti sangat membenciku!

Kali ini dia sedang mengelus-elus kulit wajahku dengan jemarinya yang berlumuran darah setelah sebelumnya memangkas batang kelaminku.

"Bibirmu begitu seksi, Soonyoung-ah!" ujarnya seraya mengelus bibir semi tebalku. "Aku sebenarnya suka ketika bibir ini bermain dengan bibirku. Juga ketika mencumbu bagian-bagian sensitif di tubuh ini. Tapi, aku benci tiap kali kau meracau dan berkata omong kosong tentang betapa kau membenci keluarga kita hingga dengan tega membunuh mereka satu per satu," katanya dengan penuh penekanan. Nyaris mendesis. "Dan aku benci tiap kali kau membisikkan kata cinta tapi dengan tega melesakkan milikmu ke dalamku!"

Aku bungkam. Diam seribu bahasa mendengarnya. Rasa bersalah menjalar perlahan.

"Ah..., mata ini. Kau memiliki sepasang mata sipit yang indah, Hyung!" Kali ini jemarinya bergerak ke mataku. Mata yang terbelalak kaget lantaran tak kuasa menahan panas membara saat bubuk arsenik yang dibubuhkannya ke dalam kopiku mulai bereaksi. "Namun, sayang, kau salah menggunakannya."

Dia tertawa. Suaranya menggema.

"Aku muak ditatap penuh nafsu oleh mata ini, Hyung! Sebaiknya kusingkirkan saja, bagaimana?" Tangannya bergerak meraih pisau kecil yang langsung dihunuskan ke bola mataku.

Tanpa ragu sedikit pun dia mencongkel kedua bola mata yang selama ini menjadi kebanggaanku karena membuatku tampak tampan sekaligus misterius di saat bersamaan. Bola mata itu menggelinding, lalu berhenti tepat di bawah kakiku yang tak menyentuh lantai.

Darah segar mengalir dari kelopak mata yang kosong itu. Aku tampak seperti sedang menangis darah.

"Ah, kau mulai dingin, Hyung! Bagaimana kalau kuhangatkan di dalam panci itu?" Telunjuknya menuding sebuah panci besar yang mengepulkan asap putih dan tebal. "Eits, jangan takut, Hyung! Anggap saja kau sedang berendam air panas. Mari, sini kuantar!"

Jihoon, adik mungilku itu, menyeret langkah akibat kesulitan membawa tubuhku yang jauh lebih besar darinya. Lantas satu per satu bagian tubuhku dimasukkannya ke dalam panci besar itu.

Hening.

Tidak terdengar suaranya yang terkikik girang lagi. Namun, lamat-lamat kulihat pundaknya bergetar. Samar-samar kudengar suara isakan.

"Padahal aku begitu mencintaimu, Hyung! Dulu kau pun berkata demikian. Tapi kenapa? Kenapa kau berubah menjadi menjijikkan begini? Kenapa, huh?" Dia terlihat histeris dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Suaranya terdengar parau. Saat dia berbalik untuk mengambil bola mataku yang tadi menggelinding, cahaya lampu menyorot wajahnya.

Membuatku bisa melihat jelas wajah itu; wajah orang yang paling kucinta, hingga membuatku tak tertarik dengan orang lain, sembab dengan jejak kemerahan mengitari sepasang mata semi sipitnya. Kesedihan tergurat jelas di wajah bulat seputih pualam itu.

Dia, pemuda mungil yang selalu kuanggap budakku ternyata bisa melebihi kegilaanku selama ini dan aku baru sadar kalau selama ini dia banyak menahan diri demi menyenangkan diriku. Astaga! Pantas saja dia terlihat begitu benci padaku hingga berani melampiaskannya hari ini.

Air mataku ikut luruh tapi tak mampu berbuat apa pun lagi selain menyesal. Karena meminta maaf sudah tidak bisa lagi kulakukan. Bosan menonton Jihoon memutilasi tubuhku, kuputuskan untuk pergi saja---menembus dinding---dari rumah ini.

enigmatic_

































(dz_13218)

EnigmaticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang