4

360 19 1
                                    

"Jangan sedih lagi."

-Alan

Senja duduk di bangku kelasnya, melipat tangannya di atas meja lalu menempelkan keningnya di atas tangannya. Perasaan Senja benar-benar kacau detik ini, setelah apa yang baru saja ia hadapi beberapa menit yang lalu.

"Udahlah, Nja. Lo yang sabar, jangan putus asa gini," Sonya mengusap punggung Senja mencoba menenangkan sahabatnya itu.

"Nggak bisa, Nya," Senja mengangkat kepalanya menatap Sonya sedih.

"Gue.. Gue.. Huaaaaaaaa."

Senja tak bisa lagi menahan tangisnya, kali ini Senja benar-benar tamat. Ulangan Matematika pagi tadi berhasil membuatnya tak berdaya, dan kali ini ia pasti harus menemui Bu Ema untuk mendapat pencerahan berupa kultum dan ceramah yang membuat telinga Senja panas mendengarnya.

"Yang penting lo udah usaha, Nja. Yakin aja sama jawaban lo, kaya Nana, nih," Nana angkat bicara sembari sibuk memasukan kentang goreng ke dalam mulutnya.

"Iya, Nja. Optimis!" Tambah Felix yang sedari tadi sibuk membolak-balikan halaman novel milik Sonya. Membaca bukanlah style dari seorang Felix.

"HUAAAAAAA..." bukannya tenang, perkataan sahabatnya itu malah membuat tangis Senja semakin menjadi.

"Gimana mau optimis Fel, Na. Nggak ada satupun soal yang gue kerjain!" Suara Senja terdengar parau.

"HAH?" Nana melongo mendengar pengakuan sahabatnya itu. Nana tak habis pikir, ternyata ada yang lebih parah ketimbang dirinya, yang kalau tidak bisa menjawab soal hanya menulis kembali soalnya di kolom jawaban.

"Yang bener aja lo, Nja. Itu mah lo cari mati sama si killer, Nja," sergah Felix yang ikutan menatap iba pada Senja.

"Udah-udah, jangan nyalahin Senja. Dia kan emang nggak pinter Matematika!" Sonya mencoba menenangkan.

"HUAAAAAAAA..."

Tangisan Senja semakin keras, menggema seantero kelas hingga sampai ke telinga pria yang sedang melakukan rutinitas wajibnya. Tidur siang.

Rigel mengangkat kepalanya yang sebelumnya menempel di atas buku paket di atas meja. Kedua iris matanya mengecil, mulai memburu mencari sumber suara penggannggu tidurnya, dan mendarat pada satu sosok gadis yang sedang terisak di deretan bangku tengah paling depan.

"Udahlah, Nja. Habis ini lo lebih giat lagi belajar Matematikanya sama si Alan, pasti nilai lo bakal meningkat sedikit demi sedikit."

Senja hanya mengangguk pasrah, mulai menghapus sungai-sungai kecil yang mengalir jatuh dari pelupuk matanya, lalu tersenyum. Senja mencoba untuk kuat, ia tak mau membuat sahabat-sahabatnya cemas padanya.

"Iya, gue bakal usaha, kok," senyum Senja mengembang.

Rigel hanya mengamati apa yang para gadis itu lakukan, iris abu-abunya mengamati gadis dengan kucir pink yang tak lain adalah Senja.

***

Langkah Rigel panjang menyusuri lorong kelas yang ramai oleh murid-murid yang sedang asyik menghabiskan waktu istirahat mereka. Ada yang berkejaran di lapangan tengah, membaca novel di kursi pinggir lapangan, atau sekedar bercanda dengan teman-temanya. Suasana khas waktu istirahat.

Langkah kaki Rigel terhenti saat sebuah bola menggelinding dan berhenti di depan kakinya.

"Bro! Bolanya!"

Rigel menoleh sesaat setelah ia mengambil bola basket yang ada di hadapannya itu. Iris matanya mencari arah sumber suara dan didapatinya seorang di lapangan basket melambaikan tangan.

RIGELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang