Senja dan Alunan Kisah

133 31 19
                                    

Nama : Gusti

Tema : Rindu

Uname wp : saiasiapa

----

G

adis itu termenung disudut jendela berukuran sedang didalam kamar kecilnya yang sepetak. Menepikan keluh kesahnya dalam satu genggaman kata. Senja. Kata itulah sumber dari segala keluh kesahnya. Nestapa jingga terukir jelas dalam kaca jendelanya. Termenung, menangis tersedu sepanjang waktu dalam ceruk jendela hingga malam menjemput purnama.

Terbayang sudah dalam mimpi gelapnya tentang semua penderitaan yang menderu. Sudah sepantasnya ia melenyapkan semua itu dan melampiaskannya pada sesuatu hal. Senja. Kata tak bertuan namun begitu dalam menyakitkan. Lamunan semunya berujung penyesalan. Dalam tangis sang gadis melampiaskannya. Apa boleh buat jika semua sudah terjadi, namun takdir berkata lain untuknya. Semua ada karena rindu yang menghasut hati.

"Aku ingin melupakan senja dan segurat luka yang pernah ada" ujarnya tak kuasa menahan tangis yang seketika pecah. Matanya memerah sejak kemarin malam yang tak henti menangis pilu meratapi kejamnya takdir terhadapnya. Mungkin memang bukan jodoh namun bekas goresan itu akan selalu ada dan melekat di hati kecilnya.

"Aku tahu menyakitkan Dhir. Tapi kau harus kuat mungkin sudah di gariskan jika Arka bukan jodohmu."

Gadis berkepang dua berusaha menghibur keluh kesah dan amarah sahabatnya meskipun hasilnya tetap nihil tak berujung.

Sahabatnya hanya diam tak bergeming.

Bayang-bayang itu berputar dikepala gadis di ceruk jendela seolah piringan kaset yang menunjukan adegan lambat. Dan perlahan gadis didepan jendela itu mulai mengingat kembali sakit yang pernah ia derita. Kejadian tiga hari yang lalu...

...

Gadis berjaket merah muda itu tengah duduk termenung di ujung dermaga. Rambut panjangnya tersibak angin. Senyum meronanya terus mengembang--tak sabar untuk menanti seseorang yang tak lain kekasihnya sendiri.

Dihadapannya kini terlukis secara langsung bagaimana ombak kecil mengalun dan angin yang berdesir pelan di tengah nuansa senja. Alunannya lembut berirama sepanjang pesisir dan dermaga tempat ia berada.

Suasana itulah yang mengantarkannya pada suatu kata namun dalam maknanya, rindu. Rindu yang benar-benar mendalam turut menyelimuti hati kecilnya. Kerinduan itu tak bisa lagi ia tahan hingga cintanya yang penuh perjuangan itu ia luapkan.

"Dhira."

Seseorang menepuk pundak gadis bernama Dhira tersebut. Lelaki bertubuh tegap dan lebih tinggi sejengkal dari gadis itu. Senyumnya merekah seketika. Sang kekasih telah datang menjemputnya dalam nestapa senja. Entah mengapa hari ini penampilannya begitu berbeda dan tampak aneh namun Dhira percaya kekasihnya pun pasti merindukannya setelah sekian lama tak bertemu.

"Kau tinggi sekali, aku lebih mirip adikmu jika kita jalan beriringan bersama." Dhira beranjak dari posisi duduknya. "Aku merindukanmu Arka."

"Aku kemari hanya ingin menyampaikan sesuatu. Dan sepertinya ini menyakitkan Dhir." Lelaki bernama Arka tersebut memalingkan wajahnya dari pandangan Dhira. Ada rasa tak tega di benak lelaki tinggi tersebut untuk mengatakan hal yang menyakitkan ini pada kekasihnya.

Dhira mengulur tanganya pada Arka namun tak ada balasan sedikitpun bahkan Arka sendiri tak bergeming beberapa saat. "Kau hanya bercanda? Lusa nanti kita akan pergi menonton film bukan?"

"Tidak, aku serius Dhir. Aku tahu enam bulan lagi kita akan merencanakan pertunangan pastinya. Namun sepertinya ini adalah akhir kisah kita. Ya, kita tak bisa bersatu lagi Dhir. Cukup sampai sini hubungan kita, dibawah senja dan naungan ombak dermaga hubungan kita resmi berakhir."

Mata coklat gadis dihadapannya berkaca-kaca. Segulir cairan bening mengalir deras membasahi pipinya. Jelas bukan tanpa alasan kekasihnya memilih jalan ini, jalan perpisahan yang menyakitkan.

"Aku masih mencintaimu Dhir. Namun ada suatu alasan untukku memutuskan hubungan ini. Sesuatu yang tidak bisa kau pungkiri. Aku harus menikah dengan orang lain. Baiklah aku pamit untuk yang terakhir kalinya dan hanya untuk menyampaikan itu, mungkin aku tak akan pernah kembali. Jaga dirimu baik-baik Dhir." Itu kata menyakitkan yang terucap dari mulut kekasihnya atau mungkin sekarang telah menjadi mantan kekasihnya.

"Dan maaf sekali lagi Dhir. Orang tuaku tak mau memiliki menantu yang tak jelas asal usulnya." Arka beranjak pergi meninggalkan Dhira yang masih berdiri mematung menyisakan airmata.

Dhira menatap punggung lelaki yang bergerak pergi menjauhi pesisir pantai. Air matanya terus berlinang. Retak, kehilangan tumpuan hidup, dan rindu yang telah hilang menyelimuti hati dinginnya. Dingin tanpa rangkulan seseorang, dingin karena cintanya telah di bekukan, dan dingin karena hati telah kehilangan penyemangatnya.

Enam bulan. Ya enam bulan rencana itu akan dilakukan. Enam bulan juga tanda ikatan akan semakin kuat. Namun apa yang terjadi kini? Senja dan alunan ombak menjadi saksi retaknya hubungan mereka karena suatu hal tanpa alasan.

"Dulu aku rindu senja. Keindahannya perantara untaian kisah nan bermakna. Dulu aku rindu pesisir. Alunannya berdesir-desir memanggil. Dulu aku rindu seseorang, mengingatnya tak sampai hati aku merana karena jiwanya. Kini aku benci senja dan untaian kisah yang pernah terlukis. Kini aku benci dirinya dan segurat luka yang akan selalu ada dan membekas di hati." Dhira berkata layaknya seorang penyair puisi yang menyuarakan tekanan batinnya. "Aku muak Arka. Muak. Muak pada dunia yang tak pernah mencintaiku. Dimana kasih sayang yang dunia berikan? Aku terlahir saja semua orang menanggung dosanya. Siapa aku sampai dunia mengasingkan ku. Mengapa aku terlahir jika tak ada yang mau menganggapku sekalipun orangtuaku. Aku lelah untuk hidup."

Kalimat terakhir menjadi tekanan batinnya yang terakhir.

Ia bangkit. Berseru lantang di ujung dermaga menjemput senja dan luka-lukanya. Airmatanya tak lagi keluar namun pipinya masih basah oleh suasana hatinya tadi yang berkecamuk.

Ditunggunya mentari senja berganti purnama. Ya, rindunya tak lagi tumbuh dan habis tak tersisa untuk siapapun itu.

Gurat luka terpancar namun berusaha untuk tegar menghadapi kenyataan. Dhira beranjak pulang tanpa rangkulan rindu seseorang.

...

Gadis di kaca jendela merenung sejenak. Hening. Tak ada suara apapun di kamarnya ataupun rumah kecilnya. Dhira hidup seorang diri tanpa keluarga bahkan kekasihnya sendiri. Yang ada hanya Asti, sahabatnya yang entah mengapa sangat memperdulikan dirinya yang tak berguna.

Bayang-bayang kejadian itu kini telah lengkap menghantui kepalanya. Ia bangkit dari dipan kecilnya yang menghadap jendela. Tangannya mencari-cari sebuah benda. Di meja, kolong kursi, laci namun belum ia temukan. Sebuah benda kecil runcing di atas lemari. Silet.

Gadis itu menemukannya. Benda kecil tajam dan mematikan. Dhira menggenggamnya, mengarahkan benda kecil itu tepat di pergelangan tangannya.

"Hentikan!! Apa yang kau lakukan Dhir. Hidupmu memang berat tapi jangan sesekali kamu mencoba melampiaskan itu dengan cara bodoh untuk mengakhiri hidup mu. Cepat berikan benda itu atau aku yang akan merebutnya."

"Tidak Asti. Kau tak mengerti sakitnya hari-hariku penuh penderitaan. Aku hidup dan lahir entah dari mana. Bahkan orangtuaku sendiri aku tak tahu. Apa kau tak mengerti juga bagaimana para lelaki itu memutuskan hubungan denganku hanya karena aku yang tanpa asal usul. Dunia ini membenciku. Mereka mengataiku anak pelacur sedangkan aku sendiri tak tahu siapa ibuku. Hidupku sudah berat dari lahir jadi biarkan aku mengakhirinya sendiri. Mungkin tak akan ada yang merindukanku setelah ini."

Dengan gerakan yang cepat Dhira memutuskan pergelangan tangannya dengan silet yang ia pegang sedari tadi. Asti hanya diam tak berkata melihat sahabatnya mati dengan akhir kisah yang memilukan. Urat nadinya putus seperti rindunya pada kasih sayang.

Event Oneshoot 2nd AnniversaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang