Nama : Pancaronaa
Uname wp : pancaronaa
Tema : PenyesalanAku sengaja tak menuliskan judul yang sebenarnya pada cerita ini karena aku tak kunjung menemukan judul yang tepat. Lebih baik kutulis 'Tanpa Judul' daripada aku harus menuliskan judul yang tak selaras dengan kisah ini. Jadi, selamat menikmati cerita tak berjudul ini dan selamat menyelami kehidupanku.
***
Aku Kencana, ibu beranak satu yang buta tentang dunia. Tidak, kuyakin kalian tidak sepenuhnya mengerti tentang ‘buta’ yang kumaksud. Jadi, akan kuceritakan pada kalian tentang kisahku sewaktu sekolah dulu karena itulah awal dari semuanya.
Hidupku monoton. Takkan kalian temui hal-hal menarik di dalamnya karena yang kutahu hanya belajar, belajar, dan belajar. Berkutat di depan buku setiap detiknya, mengikuti les di sana-sini, dan terlalu sibuk merangkai masa depan hingga melupakan hal lain yang jauh lebih penting daripada itu ; bersosialisasi.
Aku tak punya teman dan ini bukanlah masalah bagiku. Selama rumus dan angka masih setia mendominasi otakku, maka aku takkan mengenal kata ‘kesepian’. Aku sudah terbiasa dengan semua ini. Melakukan hal yang kusuka tanpa mendapat larangan dari siapapun memang terdengar menyenangkan, namun percayalah, kini aku menyesal telah memutuskan untuk menarik diri dari pergaulan.
Awalnya, aku hanya ragu dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan menyambutku di depan nanti. Kemungkinan diasingkan dari dunia, kemungkinan tak dikenal orang, bahkan kemungkinan untuk tak mendapat jodoh. Tapi, kemungkinan terakhirku mendadak lenyap saat Gio, lelaki yang sudah puluhan tahun mengarungi bahtera rumah tangga bersamaku, masuk ke dalam kehidupanku, mengikatku dalam janji suci pernikahan.
Hanya karena satu kemungkinan lenyap, bukan berarti kekhawatiranku sudah selesai. Justru, hal itu memancing kemungkinan lain untuk tumbuh. Takdir sepertinya sedang mengajakku untuk berkelakar. Dia menghukumku, namun menjatuhkan hukumannya pada anak tunggalku, Risya.
Seminggu yang lalu, Risya sampai di rumah saat jarum pendek di jam dinding rumahku menunjukkan angka sepuluh. Jelas aku marah karena aku khawatir. Jam kuliahnya berakhir pukul lima sore sementara perjalanan dari kampusnya ke sini paling lama memakan waktu satu setengah jam.
“Aku pergi sama teman-teman, Mah. Tahu-tahunya di jalan macet. Jadi, baru sampe jam segini,” katanya beralasan.
“Memangnya, nggak bisa izin dulu? Gunanya mama kasih kamu ponsel buat apa?” balasku.
“Baterainya habis, Mah. Aku lupa nge-charge powerbank semalam. Di kampus, cari stopkontak nggak segampang nyari mahasiswa yang dandan mirip tante-tante, Mah.”
Tak mau memperpanjang masalah, akhirnya kusuruh anakku untuk segera mandi dan makan malam. Di meja makan, anakku sibuk bercerita tentang ini dan itu. Tentang kuliahnya, tentang teman-temannya, juga tentang seorang lelaki yang berhasil mencuri hatinya.
“Namanya Bara, Mah. Anak fakultas hukum. Dia sama kayak aku, udah semester tiga,” anakku asyik bercerita sembari menyuapkan sesendok demi sesendok nasi ke dalam mulutnya.
“Memangnya, kamu yakin kalau Bara itu anak yang baik? Bukannya nggak percaya sama temanmu itu, mama cuma khawatir,” aku mengingatkan.
Anakku tertawa. “Mama selalu menanyakan pertanyaan yang sama tiap kali aku cerita sama mama kalau aku lagi deket sama seseorang. Bara baik, Mah. Aku yakin, kok.”
“Dulu, memangnya nenek selalu nanya kayak gini, ya, tiap kali mama deket sama seseorang?” tanyanya yang membuatku mengunci mulut. Ah, mengapa titik sensitifku tiba-tiba terusik?
“Itu artinya mama peduli sama kamu! Jangan sangkutpautin cara mendidik mama dan nenek kamu! Cara kami dalam mendidik itu berbeda!” Sungguh, aku tak sadar sudah berbicara dengan nada tinggi seperti ini. Bahkan, anakku tampak terkejut menlihat perubahanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Event Oneshoot 2nd Anniversary
DiversosIni adalah kumpulan karya oneshoot peserta yang mengikuti event untuk merayakan 2nd anniversary