Harapan yang Patah

296 56 18
                                    

Nama : Tias
Uname wp : skyinword
Tema : Penyesalan

-----

Jangan percayakan kata-kata munafik yang terus berkata akan datang bahagia setelah hujan badai. Karena kenyataannya ... langit abu-abulah yang terpampang setelah hujan reda, bukan pelangi.

***

Ketika ada sekilas saja pikiran untuk mengambil bahagia, dia akan menghilang dan menyisakan luka.

Jika ada satu saja tawa, dia akan hilang begitu saja hingga menimbulkan duka.

Pada kenyataannya. Bahagia dan tawa adalah hal ternaif yang selalu orang-orang harapkan untuk terealisasikan. Karena hal yang sebenarnya, harapan itu akan membunuh setiap jiwa yang menantikannya.

Jangan pernah percaya jika ada yang berkata bahwa semua hal di dalam buana akan berujung pada satu titik, indah.

Kesabaran akan memakan hati yang terus merintih karena dilarang untuk berteriak. Ketenangan akan menghancurkan pikiran yang nyatanya telah berporak-poranda. Jangan menyakiti diri sendiri.

Aku adalah satu dari sekian banyak manusia yang pernah berharap akan menemukan bahagia. Nyatanya ... hingga aku berada di garis akhir pun, bahagia tidak memunculkan dirinya.

Karena itulah, aku mengubur semua kata-kata yang menghiburku sendiri. Tidak lagi ingin bergelut dalam bunga tidur. Tidak lagi ingin berada dalam dunia yang berisi tentang kalimat konyol bahwa ada roda di mana akan berputar. Faktanya, aku terus berada di bawah tanpa pernah merasakan ada di atas angin.

"Dia bakalan buka matanya dan sadar. Dia bakalan balik ke gue," ucapku meyakinkan diriku sendiri.

"Untuk natap lo aja dia udah nggak bisa, gimana caranya dia bisa balik ke lo, Sas? Dia butuh lo untuk lenyapin semua sakit yang dia tahan selama berbulan-bulan koma. Sadarin diri lo. Tolong dateng ke tempat dia. Dia pasti nunggu lo. Jangan lupa untuk ikhlasin dia."

Aku tidak ingin. Sama sekali tidak ingin menerima kenyataan yang ada. Aku tidak sanggup untuk melihatnya.

"Gue bakalan terus ada untuk dia, nggak peduli apa pun yang orang lain bilang tentang dia. Dia bakalan balik ke gue, terserah dokter mau bilang apa. Karena gue tau ... dia butuh gue di samping dia. Dia juga tau kalau gue butuh dia. Jadi tolong ... gue belum sanggup, setidaknya gue harus baik-baik aja di depan dia."

Tolong ....
Jangan patahkan setitik saja harapan yang telah kubangun sekuat mungkin. Jangan musnahkan, kumohon jangan ....

"Lo liat diri lo sekarang. Apa bener dia Saskia yang selama ini gue kenal? Apa bener dia Saskia yang selama ini suka Raka dan bahagia? Apa bener ini Saskia sebelum akhirnya Raka koma di rumah sakit? Apa bener lo udah yakinin diri untuk nggak pernah egois lagi? Apa belum cukup keegoisan lo itu sampe buat dia koma di rumah sakit? Cukup, Sas. Jangan siksa dia lagi."

Aku melihat diriku di cermin yang menampilkan seluruh tubuhku dari atas hingga bawah. Aku melihat bagaimana tidak terbentuknya penampilanku saat ini. Bagaimana bisa aku baik-baik saja jika dia sedang melawan komanya di sana? Aku bahkan tidak mampu melihatnya untuk saat ini.

Aku hanya ingin melihatnya nanti. Ketika dia bangun dari komanya. Membuka mata indahnya dan memanggil namaku dengan bibirnya. Namun, sekali lagi apa yang Kia katakan adalah benar. Aku tidak boleh menyiksanya untuk waktu yang lebih lama lagi karena egoku.

"Harusnya ... harusnya dia nggak perlu selametin gue malem itu. Harusnya dia biarin aja gue yang mati. Harusnya .... harusnya dia nggak perlu menderita karena gue. Harusnya gue nggak perlu  semarah itu sama dia karena hal sepele sampe gue nggak lagi merhatiin sekitar gue. Harusnya dia berdiri di samping gue sekarang."

Setiap kata yang terakit menjadi kalimat, saat itu juga air mata memilih menjatuhkan dirinya. Saat itu juga seluruh kekuatan di dalam tubuh memilih untuk jatuh. Aku tak lagi mampu berdiri.

Seharusnya semua tidak perlu terjadi. Seharusnya aku mendengarkan penjelasannya tentang siapa gadis yang menggandeng tangannya malam itu.

"Penyelasan dateng terlambat, Sas. Lo nggak bisa ngerubah takdir dengan nyalahin diri lo sendiri. Dia ada untuk lo selama ini. Jenguk dia. Dia pasti pengen rasain keberadaan lo di sampingnya. Biarin dia bahagia setelah ini."

Aku menghapus air mataku yang masih basah. Menarik napas panjang untuk sedikitnya mendapat kekuatan. Aku harus melihatnya yang tidak baik karena kesalahanku. Aku harus merelakannya.

Seandainya waktu mampu untuk kukembalikan. Aku tidak akan menjauh darinya. Aku tidak akan membenci dirinya dan membuatnya harus terluka. Seandainya ... seandainya aku tidak egois untuk memikirkan lukaku sendiri.

Aku membuka lemari pakaian dan mengambil baju yang akan kupakai. Aku menyisir rambut hitam panjangku dengan hati-hati. Kurapikan semua penampilanku untuk melihatnya.

Aku keluar dari kamar dan bersiap untuk pergi. Namun, Kia menghentikanku.

"Jangan keliatan lemah di hadapan dia. Jangan nangis. Gue anter lo sampe rumah sakit. Gue tunggu di lobi."

Aku menuruti setiap kata-katanya. Aku hanya ingin secepatnya sampai ke sana dan melihat Raka meskipun aku tidak tahu akan sanggup atau tidak.

Waktu tidak pernah terasa dengan pikiranku yang terus berkelana. Aku memperhatikan sekitar ketika Kia menepukku sekilas dan membuatku sadar. 

"Apa perlu gue temenin sama ruangan?" tanyanya khawatir.

Aku menggeleng. "Gue sendiri aja."

Kakiku bergetar begitu berhasil mencapai tanah ketika turun dari mobil. Lagi, aku menarik napas panjang dan membuangnya pelan.

Rahangku menguat ketika semakin sedikit langkah lagi untuk sampai di ruangannya. Genggaman tanganku terasa melukai diriku sendiri. Napasku sedikit tercekat karena ruangannya semakin terlihat.

Kakiku berhenti melangkah. Aku berdiri kaku di depan ruang ICU di mana selang-selang tersambung ke tubuhnya. Lagi, aku melihat pemandangan yang sangat tidak ingin kulihat. Semua karena salahku.

Aku hanya mampu menatapnya dari balik kaca. Aku tidak memiliki keberanian untuk mendekat ke arahnya.

"Maaf karena gue egois. Maaf karena buat lo harus di sini dalam waktu yang lama. Gue rela, Ka ... gue rela. Ini memang hukuman yang harus gue terima. Semoga lo bahagia setelah ini."

Air mata mendesak untuk keluar, aku kesulitan untuk menahannya. Kumohon kepada hati untuk tidak lemah di hadapannya.

Suara mesin-mesin yang tersambung berbunyi nyaring. Membuatku menatapnya lama dengan dada berdegup kencang. Tak lama, dokter datang berlari dan memasuki ruangannya.

Masih tak luput dari pandanganku ketika tubuhnya terlonjak begitu dokter menempelkan alat ke tubuhnya. Aku menutup bibirku dengan telapak tangan untuk menghentikan tangisan. Kupukul dada ini berkali-kali untuk menghilangkan sesaknya.

Dia sedang terluka. Dia sedang tak berjiwa. Aku ingin memberinya kekuatan, tetapi bagaimana caranya jika diriku sendiri tak terkendali?

Suara nyaring panjang kini terdengar. Membuat seluruh tubuhku melemas saat itu juga. Membuatku sadar, bahwa penyesalanku tak akan berkunjung kepada penebusan. Aku tak mampu menebus kesalahanku kepadanya.

Dokter keluar dan menghampiriku yang sudah tak mampu berdiri. Dokter itu menggeleng seakan memberikanku keyakinan bahwa dia sudah tak tertolong.

Tanganku bergetar untuk menekan beberapa digit di layar telepon dan menaruhnya di telinga.

"Dia pergi."

Hanya itu kalimat yang mampu kuberikan. Aku tak mampu berbicara apa-apa lagi. Seakan semua nada beranjak dari sisiku. Aku tak lagi mampu mendengar apa yang Kia ucapkan.

Aku ingin dia kembali. Aku ingin dia memberikanku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun, semua terlambat. Karena dia memilih untuk meninggalkanku sendiri bersama beribu penyesalan yang terkekang di dalam memori.

Event Oneshoot 2nd AnniversaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang