Hujan deras masih mengguyur dipagi hari, udara yang dingin menusuk pori-poriku hingga masuk ketulang yang membuat ngilu. Aku berdiri di depan jendela kamar, kutatap setiap tetesan air hujan itu, suasana hijau persawahan masih tampak indah di antara butiran air hujan yang menerjang, sesekali kutadahkan tanganku ke luar jendela, kurasakan dinginnya air hujan yang menyentuh telapak tanganku.
"Ayolah berhenti main air hujan, ingat kondisimu." Suara bang Inno terdengar dari balik pintu kamarku. Aku menghela napas, sudah berulang kali bang Inno menegurku pagi ini, namun aku tetap teguh dengan posisiku.
Bang Inno menghampiriku, ditutupnya jendela yang sedari tadi aku buka agar aku dapat merasakan hembusan angin hujan dipagi ini. Setelah menutup jendela, bang Inno menatapku. "Harus berapa kali abang bilang, jangan berbuat sesuatu yang bisa mengganggu kesehatanmu! Udara dingin kamu tidak kenakan jaket, kondisi kamu itu diperhatikan, jangan sampai karena kamu lalai, kamu nggak bisa ngewujudin cita-cita Aldi." Aku terdiam mendengar nama Aldi, betapa aku sangat merindukannya. Mungkin sebagian orang akan menyangka aku sudah bisa melepaskan kepergian Aldi, namun nyatanya tidak rasa sakit itu masih berbekas, aku berusaha tegar, aku berusaha kuat dihadapan semua orang, sejatinya hidupku akan selalu dalam topeng kebohongan. Hati sudah tidak mampu melihat air mata dan rasa khawatir yang ditujukan kepadaku, cukup sudah aku membuat ibu menangis di rumah karena melihatku bersedih belum mampu melepaskan Aldi, cukup sudah aku membuat semua orang khawatir kepadaku. Biarlah topeng ini akan selalu kukenakan, sebuah topeng kehidupan yang tidak akan diketahui oleh semua orang. Aldi kakak merindukanmu.
"Kenakan jeketmu! Kita berangkat ke sekolah sekarang." Bang Inno membuyarkan lamunanku tentang Aldi, kuraih jaket yang sudah kusiapkan sejak jam lima subuh tadi, dan kita siap pergi.
Hujan masih belum reda saat aku turun dari mobil, kubuka payung hitam yang sudah disiapkan bang Inno tadi sebelum berangkat, aku masih berdiri menatap kepergian mobil bang Inno. Aku bersyukur masih memiliki bang Inno dalam hidupku, orang yang mau menjagaku dan mau merawatku, walaupun sesekali rasa jengkel kadang muncul karena kejailannya. Tapi hal itulah yang mampu membuatku sedikit merasa bahagia, terhibur dengan kejailan bang Inno.
Seperti biasa hari-hari kulalui dengan keempat sahabatku itu, terkadang disela jam istirahat aku sempatkan diri untuk menemui pak Agus yang sedang sibuk dengan pekerjaannya, sesekali aku ikut membantu, walaupun pak Agus mencegahku itu tidak melunturkan niatku untuk membantu beliau.
"Pak, bapak pernah ngerasain rindu sama seseorang?" sesaat pak Agus berhenti membersihkan taman, beliau memandangiku.
"Kamu lagi kangen seseorang toh?" pak Agus kembali bertanya, namun aku tidak menjawab.
"Namanya manusia, pasti ada rasa rindu. Entah itu rindu orang tua, teman bahkan kekasih tercinta. Bapak saja sering rindu almarhum Ibu dan bapak." Aku merasa bersalah menanyakan hal tersebut kepada pak Agus, namun rasa rinduku pada Aldi membuatku ingin menceritakannya kepada pak Agus.
"Saya rindu adek saya pak." Dengan ragu aku mengatakan hal itu.
"Kalau kangen yo ditelpon toh, ngono ae lo kok susah." Aku terdiam sejenak.
"Adek saya sudah meninggal pak beberapa bulan yang lalu." Pak Agus terdiam dan meminta maaf kepadaku, ia merasa bersalah menyuruhku menelpon seseorang yang sudah meninggal.
"Terkadang rasa rindu itu selalu muncul pak, kadang sebelum tidur sering saya menangis ingin memeluknya, ingin melihat tawanya, melihat dia tersenyum. Saat bangun tidur saya rindu kejailannya pak, rindu saat dia masuk kamar dan menarik-narik selimut menyuruh saya bangun, rindu saat dia dimarahi ibu karna jail sama saya, saya rindu semua tentang dia pak, kenapa rasanya Tuhan itu nggak adil ya pak? Kenapa Tuhan begitu cepat ambil adek saya ya pak?" air mata saat itu menetes membanjiri pipiku, namun aku segera menghapusnya, pak Agus menghentikan pekerjaannya dan duduk di sebelahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktukan Menjawab {Terbit}
Teen FictionKehidupan takkan mengalir dengan dengan tenang tanpa adanya sebuah cobaan dan halangan, seperti yang aku rasakan. Musibah kian detik menanti setiap langkahku, tak perduli dengan siapa, dimana bahkan disaat sedang berada di suatu tempat yang sangat p...