Nyatanya sebuah usaha tidak sepenuhnya membuahkan hasil, kadang ada kekecewaan yang di dalamnya. Terkadang aku berpikir, mengapa Tuhan ciptakan kebahagiaan jika diakhiri dengan kesedihan. Namun apalah daya itu sudah hukum alam yang direncanakan Tuhan untuk hamba-hambanya yang lemah ini.
Aku masih masih terduduk lemas di lantai, entah apa yang terjadi di dalam sana. Aku masih belum tahu, berita burukkah ini? Air mataku masih menetes membanjiri lantai. Pikiranku sudah kacau saat itu. Bagaimana mana Kiki akan menjalani hidupnya setelah ini?
Hampir lima menit aku terduduk dalam kesedihan di sana sebelum akhirnya seorang suster keluar dari kamar Bu Ernia. Aku segera bangkit dan menghampirinya.
"Suster apa yang terjadi?" Dengan tergesa-gesa aku bertanya, tak perduli wajahku yang kacau dengan air mata. Namun, suster itu tersenyum sebelum menjawabnya.
"Bukan masalah serius Ardi, Bu Ernia tadi hanya terjatuh saat mau mengambil kursi rodanya." Suster yang memang sudah mengenalku itu kembali tersenyum sambil mengusap air mataku lalu pergi meninggalkanku, usianya mungkin saat ini sudah seumuran bang Inno, tubuhnya yang ramping dan tinggi ini nampak mempesona saat sedang berjalan mengelilingi lorong rumah sakit ini. Ke khawatiranku saat ini terjawab sudah, Bu Ernia baik-baik saja. Ini sungguh kabar baik, aku pikir aku akan kehilangan seseorang lagi di rumah sakit ini. Kuseka air mataku sebelum akhirnya aku masuk kamar Bu Ernia.
Di dalam kulihat Kiki tengah memeluk ibunya, aku akhirnya tahu kenapa Kiki menjerit tadi. Dia khawatir, mungkin saat itu dia juga memikirkan hal yang sama seperti apa yang kupikirkan. Jujur saat aku melihat Kiki memeluk ibunya dengan tangisan air mata, aku teringat ibu. Apa kabar beliau di rumah, sudah berapa bulan aku meninggalkannya tanpa kabar. Aku merindukannya.
Aku balik kanan. Kuurungkan niatku untuk mendekat menemui mereka berdua, biarkan mereka berdua berbagi kasih sayang saat ini. Aku tidak ingin menjadi pengganggu saat mereka sedang bersama, bersama dan mencurahkan isi hati mereka masing-masing. Saat aku tengah berjalan menjauh dari ruangan itu, aku teringat suatu hal. Kulihat jam tanganku, 6.45. Mampus, aku telat. Aku bergegas berlari menemui bang Inno yang mungkin saat ini tengah menunggu, atau mungkin sedang bingung mencariku. Wajahku masih kacau dan aku tak memperdulikannya.
"Kamu dari mana aja? Bukannya hari ini kamu sekolah ya?" Aku tak memperdulikan pertanyaan bang Inno. Kutarik tangannya menuju mobil. "Bang Ayo cepetan berangkat!"
"Tapi kamu dari mana? Lihat mukamu, kotor begitu? Kamu habis nangis?" Aku kembali dihujani pertanyaan oleh bang Inno.
"Nanti aja Ardi ceritain di mobil." Aku masih terus menarik bang Inno menuju mobil. Sesampainya di mobil bang Inno bergegas masuk dan mengendarai mobil menuju sekolah.
"Bersihkan mukamu dulu!" Bang Inno memberikanku selembar tisu basah.
"Jadi apa yang terjadi?" Bang Inno kembali bertanya penasaran.
"Tadi waktu Ardi keliling menemui pasien-pasien lainnya, nggak sengaja liat Kiki lari terburu-buru. Awalnya sih aku kira ada sesuatu yang parah terjadi pada Bu Ernia. Bayangkan bang, tadi aku takut banget, makanya aku nangis tadi." Aku menjelaskan semuanya sambil membersihan wajahku dengan tisu basah yang diberikan bang Inno tadi.
"Bu Ernia kenapa?"
"Kata Suster tadi sih Bu Ernia terjatuh saat mau naik kursi roda sendiri, entah mungkin beliau mau keluar. Pasti sangat bosan di dalam kamar terus." Kubuang tisu basah tadi ke tempat sampah yang sudah disiapkan bang Inno di dalam mobil. Kali ini bang Inno berhenti bertanya dan fokus menyetir mobilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktukan Menjawab {Terbit}
Teen FictionKehidupan takkan mengalir dengan dengan tenang tanpa adanya sebuah cobaan dan halangan, seperti yang aku rasakan. Musibah kian detik menanti setiap langkahku, tak perduli dengan siapa, dimana bahkan disaat sedang berada di suatu tempat yang sangat p...