Dua Puluh Satu

151 11 0
                                    


Surabaya, 2015

Beberapa bulan setelah aku selesai operasi, aku resmi dikatakan sembuh oleh dokter sekaligus bang Inno. Semenjak itulah aku memutuskan untuk melanjutkan sekolahku ke jenjang yang lebih tinggi. Aku memutuskan untuk kuliah disebuah Universitas yang cukup terkenal di sana, awalnya bang Inno sangat menolak keputusanku. Namun, berkat Fatah tolakan itu bisa aku kalahkan. Fatah dan aku memutuskan kuliah di tempat yang sama, dan tinggal di sebuah kostan yang sama juga. Menurut bang Inno selama ada Fatah aku akan aman, tak perlu ada yang harus dikhawatirkan. Terkadang aku bingung, meskipun aku dinyatakan sembuh tapi bang Inno masih memperlakukanku sama seperti saat aku sakit.

Pagi itu aku masih menyempatkan diriku bertemu Kiki di rumah sakit, semenjak kepergian bu Ernia Kiki terlihat lebih banyak menyendiri, entah bekas kesedihan itu mungkin masih membekas di hatinya.

"Kik." Aku memanggil Kiki dari kejauhan, sekilas Kiki melihat kearahku lalu menghentikan pekerjaannya.

"Ardi."

"Ngapain lo kesini?" Tanya Kiki dengan ciri khasnya yang selalu membuatku tak suka melihatnya.

"Aku mau pamit sama kamu."

"Mau kemana lo?" Tanya Kiki sambil meneruskan pekerjaannya yang sempat ia hentikan tadi, nampak kekecewaan yang kulihat dimatanya.

"Maafkan aku Kik, aku harus ke Surabaya, kamu ingat aku masih punya janji sama almarhum adekku sendiri, dan kali inilah aku harus mewujudkannya." Jelasku dengan ragu. Tak ingin membuatnya kecewa dengan kepergianku, tak ingin kumembuatnya bersedih, namun aku harus pergi.

"Ngapain lo minta maaf coba, kalau lo emang mau ke Surabaya, ya udah pergi, lagian Surabaya nggak jauh kok, gua bisa mampir kesana kalau gue kangen sama lo." Ujar Kiki penuh kebenaran, namun kekecewaan masih dapat kurasakan dimatanya.

Setelah aku selesai berpamitan dengan Kiki, aku dan Fatah berangkat menuju ke Surabaya bersama bang Inno. Lagi-lagi aku diperlakukan sama seperti dulu, bang Inno mencarikan kostan yang sangat nyaman untukku, tak ada kebisingan disekitar kostan kita berdua, entah dari mana bang Inno menemukan tempat ini. Bang Inno bermalam di sini, ia memastikan semua kebutuhanku sudah terpenuhi, tak ada satupun yang terlewatkan. Mulai dari makanan sampai tempat tidurku pun bang Inno yang mengaturnya, nampaknya ia masih belum bisa melepasku sendiri. Hal itu terbukti saat keesokan paginya di mana bang Inno akan kembali ke Pasuruan.

"Fatah, jagain Ardi baik-baik ya!" Pinta bang Inno kepada Fatah.

"Siap bang, aku pastikan Ardi tidak akan terluka segores pun dilengannya." Aku menyikut lengan Fatah, ini terlalu berlebihan.

"Di, abang masih belum siap harus jauh dari kamu. Tapi, mau bagaimana pun abang nggak bisa menolak keinginanmu." Ujar bang Inno masih berat meninggalkanku.

"Aku pasti baik-baik aja kok bang."

"Jaga dirimu baik-baik, minggu depan abang kesini lagi." Aku mengangguk membalasnya dengan senyuman. Dan bang Inno pun meninggalkan aku dan Fatah berdua di kostan tersebut.

"Padahal bang Inno itu bukan abang kandung kamu ya, Di. Tapi kasih sayangnya ke kamu melebih abang kandung coba." Ujar Fatah saat memasuki kamar, dan aku mengakat kedua bahuku pertanda aku tak mengerti untuk menjawab pernyataan Fatah tentang bang Inno.. Mau bagaimana pun hal itu akan tetap di anggap asing oleh orang yang baru mengenal aku dan bang Inno, aku tahu bang Inno bukanlah abang kandung aku, tapi kasih sayangnya ini melebihi kasih sayangku kepada Aldi, awal aku juga heran dengan prilaku bang Inno. Namun aku sadar, bahwa cuma akulah keluarga yang ia punya, maka dari itu bang Inno sangat khawatir jika terjadi sesuatu terhadapku.

Waktukan Menjawab {Terbit}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang