Dua Puluh

125 6 0
                                    


Sebuah kekhawatiran, sebuah kecemasan hanya itu yang ia rasakan saat itu, ia berlari berharap kenyataan ini tidak benar terjadi. Ia gelap mata, apa yang didengarnya bukanlah sebenarnya terjadi, rasa khawatir dan ketakutan ini mengalahkan kebenaran. Seseorang yang merasakan hal seperti ini, mungkin akan segera berlari menjauh. Seperti yang dilakukan Fatah.

Aku yakin itu adalah hari yang sangat menegangkan bagi Fatah dan juga keluargaku. Sesaat ruang tunggu itu dipenuhi dengan kesedihan setelah mendengar suara bang Inno yang menjerit histeris memanggil namaku, aku tak tahu kebenarannya seperti apa, yang kutahu kesedihan itu menyelimuti ruangan itu.

Entah keajaiban dari mana datangnya, menurut cerita bang Inno waktu itu denyut nadiku benar-benar sudah tak berdetak, semua orang diruangan operasi menyangkaku sudah mati, hingga saat selembar kain putih itu akan menutupi tubuhku, sebuah keajaiban datang. Aku bernapas kembali, aku kembali ketubuhku yang mungkin sempat kutinggal pergi. Semua bersujud syukur saat itu, terutama bang Inno. Dia yang sangat bahagia diruang operasi itu, aku masih tak sadarkan diri tapi aku merasakan kehangatan itu, kehangatan saat bang Inno memelukku penuh dengan kebahagiaan. Semenjak itu aku berpikir bahwa tuhan masih bersamaku. Tuhan aku tahu, ini sudah suratan takdirmu. Jika hambamu ini belum saatnya pulang, maka aku akan tetap bernapas disini.

***

"Kamu tahu apa yang abang rasakan saat itu? Rasanya abang mau mati juga, benar-benar nggak percaya jika semua itu terjadi. Entah kalau keajaiban dulu itu nggak ada mungkin abang bakalan tinggal sendirian di sini." Ujar bang Inno.

"Tapi waktu itu aku sangat bahagia bang. Aku bertemu mereka, aku bertemu mereka yang memberikan pelajaran kehidupan kepadaku, aku bertemu Dinda dan Mr. Alexander, mereka nampak sangat bahagia. Aku tahu itu dari senyuman hangat mereka, dan saat bertemu mereka itulah aku disuruh pulang. Aku masih ingat betul kalimat itu." Pulanglah kak, kakak masih punya janji sama Dinda. Aku mencoba mengingat kejadian beberapa tahun itu.

"Tapi setelah ucapan itu aku nggak pernah lihat senyuman Dinda lagi, mereka berdua seperti lenyap dihempas angin, hilang begitu saja."

"Mereka menyanyangimu, Di. Bahkan saat mereka sudah berada di alam yang berbeda saja mereka masih mendukungmu untuk terus semangat. Abang yakin, mereka juga sedang memperhatikanmu sekarang." Jelas bang Inno.

"Oh ya Bang, bagaimana keadaan Fatah saat itu?" sebenarnya sedari tadi sedang memikirkan Fatah, sahabat yang selalu ku rindukan yang saat ini entah kemana dia. Dia hilang.

"Dia sangat kacau saat itu." Jawab bang Inno.

***

Saat itu Fatah duduk di taman, ia menangis, ia sedih. Ia belum siap mendengar kebenaran itu, kebenaran yang sebenarnya tak benar-benar terjadi. Hampir satu jam ia duduk di sana dengan air mata yang menetes di pipinya. Sampai akhirnya bang Inno datang menghampirinya.

"Tah.." panggil bang Inno. Fatah tidak menjawabnya, baginya tak akan ada yang bisa menenangkannya saat itu. Bang Inno kemudia duduk disebelahnya, masih terlihat jelas di mata bang Inno bekas kesedihan yang ia rasakan satu jam lalu.

"Ardi.." Bang Inno menyebut namaku, namun hal itu membuatnya tambah bersedih.

"Ardi itu kuat bang, tapi kenapa? Kenapa harus secepat itu, kenapa saat ini dia lemah. Dia temanku bang, dia orang baik bang. Tapi kenapa tuhan harus mengambilnya duluan bang, kenapa bang? KENAPA." Tangisan Fatah kali ini semakin menjadi, bang Inno masih terdiam membisu.

"Ardi tidak selemah itu Tah, Ardi anak yang kuat. Buktinya dia bisa melalui masa kritisnya. Bahkan didetik terakhirnya saja dia masih bisa bertahan. Dia masih bernapas Fatah." Jelas bang Inno.

Waktukan Menjawab {Terbit}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang