Dua Puluh Dua

116 9 0
                                    


Terkadang kita tak pernah mengerti apa yang menjadi pikiran orang lain, meskipun nampaknya mereka baik-baik saja. Namun nyatanya hati mereka tidak, ada sesuatu yang tersembunyi dibalik senyuman mereka. Dan aku yakin saat itu Fatah juga sedang dalam masalah, atau memang mungkin memang aku yang salah.

Hampir sebulan sudah Fatah meninggalkanku, tak ada kabar, tak ada lagi sudah senyumnya dibangun tidurku. Sama halnya seperti kehilangan Aldi dulu, rasanya sepi, ada yang hilang, dan ku pikir semua itu juga tidak akan pernah terulang lagi.

Hari demi hari aku mencoba untuk membuka lembaran baru, aku mulai melupakan semua kejadihan pahit dalam kehidupan yang pernah kulalui. Termasuk perginya Fatah yang sampai sekarang tak pernah kutahu apa penyebabnya. Membuka lembaran baru di kehidupan tak semudah membuka lembaran buku. Banyak rintangan dan sebuah perjuangan untuk melupakan yang harus kulalui. Pahit, benar-benar pahit drama yang sedang kujalani ini. Namun seseorang menyadarkanku, bahwa tak selamanya kita akan merasakan kebahagiaan, ada kalanya kita akan merasakan sedih, ada kalanya kita harus berusaha melupakan, dan ada kalanya kita harus berusaha menjauh. Layaknya sebuah roda yang berputar, kehidupan kita tak akan selamanya berada di atas.

Pagi ini seperti biasa aku berangkat kampus tanpa Fatah, berjalan sendiri mengitari jalan raya, melewati taman yang dipenuhi dengan kicauan burung yang berterbangan. Aku tersadar bahwa Tuhan selalu menyimpan keajaibannya di setiap masalahku.

"Ardi." Seseorang memanggil namaku dari kejauhan, dan aku mengenalnya.

"Alleta." Dialah seseorang yang berhasil menyadarkanku, bahwa bersedih bukanlah jalan untuk menyelesaikan masalah. Entah kapan aku mengenalnya, yang aku ingat saat itu aku tengah tertunduk sedih memandangi tanah yang penuh dengan semut berbaris rapi layaknya pasukan baris berbaris. Aku masih ingat sekali ucapan pertama yang ia lontarkan kepadaku.

"Sampai kapan kamu bakalan liatin semut itu bekerja untuk ratunya?" saat itu kuangkat kepalaku. Sosok gadis itu, gadis yang sekarang melambaikan tangan menyapaku dari kejauhan. Awalnya aku benar-benar terpesona dengan parasnya yang sangat menawan, namun aku tundukkan kembali kepalaku saat itu.

"Kamu kenapa? Lagi ada masalah?" kali ini dia duduk di sebelahku, dan aku masih terdiam tak membalas pertanyaannya.

"Kenalin namaku Alleta." Kali ini ia mengenalkan dirinya, dan aku masih tetap dengan pendirianku, tertunduk malas menjawab pertanyaannya dan perkenalan itu.

"Sedih, sifat alami manusia. Tanpa kesedihan kehidupan manusia tak akan lengkap dan tak akan berarti. Aku juga pernah bersedih, aku juga pernah merenung sendiri dan tak mau diganggu orang lain. Tapi sebenarnya hal itu sangatlah salah. Ah dasar manusia selalu menyimpannya sendiri." Tiba-tiba gadis ini berbicara dengan nada kesal namun tak benar-benar kesal. Dan kali ini aku mengangkat kepalaku menatap langit.

"Mereka selalu merasa menyesal jika sesuatu yang mereka simpan itu sudah membesar dan siap meledak bagaikan bom dalam kepalanya. Manusia benar-benar bodoh, bersedih karena sesuatu yang tak pasti, kapan mereka sadar? Bahwa disampingnya ada seseorang yang siap menerima semua cerita yang akan ia lontarkan. Takut, hanya itu yang ada dalam pikiran mereka." Mendengar kata-kata itu aku menghela napas panjang sambil menatap langit yang cerah saat itu. Aku teringat saat petama kali aku bertemu Kiki, seorang gadis yang sok tahu dan selalu ingin tahu semua tentangku dan kali ini aku bertemu seseorang yang sama, sama-sama sok tahu tentang kehidupan seseorang.

Aku kembali menghela napasku, kuulurkan tanganku kepadanya. "Ardi." Kuperkenalkan namaku, dan hal itu disambut senyum manis oleh Alleta. Sejak saat itulah aku dekat dengannya, menjalani kehidupan dan membuka lembaran baru bersamanya.

Waktukan Menjawab {Terbit}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang