3

604 43 1
                                    

"Austin...." Kata Sophia sambil membuka pintu kamar Austin.

Austin hanya menjawab panggilan Sophia dengan dehaman. Saat ini Austin sedang merapihkan peralatan kesayangannya di atas meja.

Begitu Sophia masuk ke dalam kamar Austin. Ia merasa seperti masuk ke dalam ruang studio musik.

bagaimana tidak terlihat seperti studio musik, di kamar Austin ini terdapat Launchpad, digital microphones, digital audio mixer, electric piano, gitar, DJ controller, dan benda-benda yang tidak Sophia tau namanya.

"lagi sibuk ya?" Tanya Sophia yang langsung duduk di kasur.

"udah ke kumpul orang-orangnya?" Austin malah bertanya balik kepada Sophia.

Sophia menggeleng, padahal Austin sedang memunggungi dirinya. "belum. Malem ini gue mau nyari orang-orangnya, sama Edwin."

Austin langsung berbalik dan menarik kursi mendekati posisi Sophia. Austin duduk di kursi berhadapan dengan Sophia. "Edwin?"

Sophia mengangguk. "kalo Edwin ke sini, awas aja jangan bilang macem-macem ke Ibu sama Ayah."

"yaampun Sophia, kapan sih gue ngadu ke Ibu sama Ayah coba?"

"engga pernah sih, tapi kan awas aja."

"iya-iya."

"Edwin bakalan jemput nanti malem. Izinnya sih kerja kelompok, di ijinin ga yah?"

"ya asal Edwin berpenampilan meyakinkan sebagai orang yang bakalan ngajak kerja kelompok sih pasti Ibu sama Ayah percaya."

"maksud lo, Edwin harus berpenampilan nerd gitu?"

Austin mengangguk. "lagian kok tumben keluar sama temen yang namanya Edwin?"

"Caro nemenin Mamanya ke toko kue punya keluarganya, nyobain beberapa jenis kue barunya gitu."

"kalo Brandon?"

Sophia diam beberapa saat sebelum menjawab. "sibuk."

"jadi Dia ga bisa berpartisipasi?"

Sophia menggeleng pelan.

"yaudah, gue doain, lo cepet nemu orang-orang yang bisa berpartisipasi, terutama orang buat jadi pangerannya."

"thanks."

"sama-sama."

"Austin."

"iya?"

"ini percakapan terpanjang Kita ya kayaknya." Sophia tertawa hambar. "padahal Kita Cuma beda dua taun, tapi Kita sama sekali ga deket."

"iya. Gue yang salah."

"eh?"

"harusnya gue lebih ngerangkul lo."

Tiba-tiba Sophia menunduk. "Gue selalu iri sama lo."

"kenapa?"

"Lo selalu jadi kebanggaan Ibu sama Ayah. Gue ga pernah bisa. Gue ga punya otak se luarbiasa kayak punyanya lo."

"Sophia..." Austin menghampiri Sophia, Ia duduk di samping Sophia dan mengangkat dagu adiknya itu. Kedua pasang mata mereka bertabrakan, sepasang mata Sophia terlihat kemerahan dan menahan air mata.

Melihat itu membuat Austin langsung menenggelamkan Sophia dalam pelukan eratnya. "setiap orang punya kelebihan dan kekurangan Phi. Dan setiap orang itu spesial dengan cara mereka sendiri."

"tapi Ibu sama Ayah ga sayang gue."

"Mereka sayang sama lo Sophia."

"bohong! Mereka selalu marah-marah ke gue."

TEAMWORKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang