1. Lukisan Hujan

133 9 13
                                    

Ada begitu banyak ketidakmungkinan di dunia ini, dan semua ketidakmungkinan itu berbanding lurus dengan semua kemungkinan yang ada.

Misalnya saja, aku tidak mungkin bisa menikah dengan Robert Pattinson, tidak mungkin bisa menjadi orang kaya, tidak mungkin bisa melakukan tavelling, tidak mungkin terserang penyakit ZICA selama aku di Indonesia atau tidak mungkin bisa melakukan terjun payung seberapa inginnya aku melakukan itu dan banyak ketidakmungkinan-ketidakmungkinan lain yang tidak akan terjadi padaku.

Tapi, diantara semua ketidakmungkinan seperti itu, pasti ada satu yang bisa terjadi padaku, kan?
Misalnya, aku mungkin bisa saja terkena HIV ketika mengikuti aksi donor darah bulan depan, aku mungkin saja punya orangtua angkat yang sangat kaya, artis idolaku mungkin saja mengenali dan menyapaku dengan ramah saat fansigning atau aku mungkin saja seorang tunarungu sekaligus tunawicara.

Dan kemungkinan yang terakhir aku ketik itu adalah kenyataan.

Tadi, di paragraf perkenalan, kusebutkan kalau orang-orang memanggilku dengan Suli, kan? Aku bohong waktu bilang tidak tahu darimana nama Suli berasal. Itu bukan nama panggilan asal jadi, tapi mewakili dua kekuranganku yang paling terlihat; akronim dari Si Bisu dan Si Tuli. SULI. Tahu aku apa artinya, sekalipun aku tidak dengar ketika mereka diam-diam tertawa waktu menyebutkan nama itu.

Itu kenapa aku selalu melihat wajah orang yang bicara padaku.

Aku Suli, tapi aku bisa berkomunikasi dengan kawan yang lain jika aku melihat gerakan bibir mereka.

Tuhan Maha Adil. Dia ambil pendengaranku, tapi dia memberiku mata yang tajam, sehingga aku bisa membaca gerak bibir orang untuk mengetahui apa yang mereka katakan. Aku bisa berkomunikasi dengan orang normal yang bahkan tidak mengerti bisindo.

*

Bagaimana sebuah lukisan hujan dibuat?

Matahari yang menanyakan itu ketika kami dalam perjalanan ke asrama. Sementara orang-orang berlalu lalang di antara kami. Beberapa dari mereka menyapa Matahari dan melihatku dengan sinis. Beberapa lagi menyapa Matahari dan menganggapku tidak ada. Beberapa lagi menyapa Matahari dan menganggapku sebagai hantu.

Aku rasa, mereka menganggap aku seekor kodok yang berjalan dengan pangeran. Tapi yang kurasakan adalah mereka adalah sekumpulan kecebong yang mencoba mendekati manusia kurang waras bernama Matahari Prasasta.

"Kenapa kamu ingin melukis hujan?" Aku bertanya balik, tidak menjawab pertanyaannya.

"Karena hujan itu peristiwa magis. Aku suka hujan," dia berjalan pelan-pelan, menyamakan langkahnya dengan langkahku. Aku memeluk agendaku sambil berjalan.

"Bukan hujan kamu!" Matahari menyambung ucapannya yang belum selesai.

"Aku juga enggak mau itu aku!"

Kalau kupikir lagi, aku dan Matahari ini selalu bertengkar untuk hal-hal yang tidak penting. Kami berdebat kemudian tertawa. Bertengkar, kemudian tertawa. Berteriak, kemudian tertawa. Tidak ada hal yang sungguh-sungguh kami bahas. Karena aku memang tidak mau membahas sesuatu dengan sungguh-sungguh.

Matahari itu, biarpun playboy dan menyebalkan, dia tetap seseorang yang tenang dan bisa diandalkan. Dia seorang manusia. Ini kedengaran aneh, tapi percaya kalau aku bilang Matahari ini adalah manusia paling manusia di antara manusia yang ada di sekolah.

Dia meletakkan semua hal di tempat yang tepat. Dia menonjol dengan sangat tepat. Dia dekat dengan seseorang dengan proporsi yang sesuai, kebaikan yang dia berikan itu tulus, sekaligus tidak berlebihan. Sewaktu dia marah, dia juga tidak melakukannya dengan berlebihan. Aku tidak tahu apakah dia pernah marah secara berlebihan dengan orang lain, tapi kalau pun dia melakukan itu, pasti karena orang itu yang sedang keterlaluan.

AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang