2. Ampas Teh

107 9 0
                                    

Aku ke dapur asrama yang berada di lantai satu. Asrama ini khusus untuk siswi-siswi yang cacat dan penghuninya tidak terlalu banyak. Mungkin sekitar sepuluh atau dua belas orang. Itu membuat kami mendapat kamar satu per satu orang.

Lantai di bawah diperuntukkan bagi siswi tunanetra atau lumpuh. Sebab akan sulit bagi mereka untuk naik turun tangga. Sedangkan lantai dua untuk yang seperti aku. Penyandang dua tuna, kalau menurut orang-orang. Tuna rungu dan tuna wicara. Karena kedua kaki dan mata kami masih bisa diajak bekerja sama untuk menaiki tangga.

Rata-rata penghuni lantai dua memakai alat bantu dengar dan bisa bicara meskipun dengan suara sengau. Tapi aku tidak. Lebih tepatnya aku tidak mau. Orangtua angkatku yang kaya sudah beberapa kali membelikan aku alat bantu dengar, yang hanya kupakai sesekali.

Aku punya alasan yang bagus, misalnya aku tidak suka suara-suara berisik yang masuk ke telingaku atau aku lebih suka kesunyian yang panjang. Sejujurnya, aku sangat bersyukur akan keadaanku sekarang yang bisu dan tuli ini.

Meskipun begitu, meskipun aku memiliki alat bantu dengar, tetap saja aku mengalami kesulitan dalam bicara. Suara yang aku keluarkan jelek sekali, sampai aku pun malu memperdengarkannya. Aku sering latihan sendiri di kamar dan akan merasa sedih setelah mendengar seperti apa suara yang aku keluarkan.

Namun bukan berarti aku tidak pernah memakai alat bantu dengar sama sekali. Aku akan memakainya ketika pulang ke rumah, karena Ayah dan Ibu angkatku akan marah kalau tidak kupakai. Aku juga akan pakai kalau di asrama dan dalam pelajaran, karena masa-masa itu adalah masa-masa sunyi. Sunyi yang menyenangkan.

Seperti saat ini, di dapur asrama. Aku memakai alat bantu dengar di sini. Karena dapur adalah salah satu tempat yang paling bagus suaranya. Suara air mendidih, gelembung dari dispenser atau gemericik teh ketika bubuknya dituangkan ke dalam teko. Hal-hal seperti ini membuatku senang memakai alat bantu dengar di dapur.

Sesuatu yang kecil, seperti suara-suara yang alami, Hujan senang sesuatu seperti itu.

Sesuatu yang kecil, seperti suara-suara yang alami, Hujan senang sesuatu seperti itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hujan?"

Aku menoleh ketika suara panggilan dan tarikan di ujung kaos tidur yang kupakai tiba-tiba hadir di belakangku. Desember di sana, duduk di atas kursi rodanya yang masih berkilau.

Desember itu salah satu hal yang paling malang yang pernah Hujan temukan. Karena dia rapuh dan berbeda. Karena selotip penahannya mulai kehilangan daya rekat. Desember butuh selotip baru, kalau menurut Hujan.

Atau mungkin, dia butuh mesin jahit dengan benang nilon warna-warni.

Aku mengangkat alis, tanda bahwa aku bertanya apa ada yang bisa dibantu.

"Bisa tolong angkatin ketel yang mendidih itu?" tanyanya sambil menunjuk ke atas kompor yang menyala, yang suara Tuuut panjang dari ketelnya kunikmati dari tadi. "Aku mau buat teh. Tadi aku minta tolong sama Andin buat masakin airnya."

AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang