Aku menekan-nekan ujung hidung yang agak basah. Pilek, batuk, dan flu itu saudara sekandung. Selayaknya saudara kandung, mereka kompak bukan main. Satu menyerang, yang lain ikut menyerbu. Duh, itu penyakit ringan yang enggak bisa disebut ringan juga.
Ketika kena demam, kamu masih bisa bilang flu dan berbaring di kamar seharian sambil memimpikan untuk punya suami macam Cadis Eltrama Di Raizel.
Tapi kalau kamu bilang flu atau pilek atau batuk dan berbaring di kamar seharian, maka orang akan bilang kamu pemalas. Tidak peduli seberapa teruk tubuhmu menahan ingus yang meler ataupun dahak yang menempel di tenggorokan.
Huh, sebal!
Sebuah tepukan mendarat di pundakku dibarengi oleh suara "DOR!" keras yang berasal dari mulut Matahari.
Aku tidak terkejut (tentu saja karena aku tuli) dan melanjutkan atraksi mengeluarkan ingus dari hidung ke sapu tangan. Matahari mengeluarkan reaksi jijik melihat aktivitasku.
"Jorok."
"Biar," tukasku dengan gestur tubuh sambil mengelap sisa ingus dengan selembar tisu yang lain.
Matahari mendorong kepalaku dengan ujung jari, lalu membuang tisu bekas ingus ke tempat sampah sehingga meja tulisku kembali bersih. Dia duduk di meja depanku sambil bertopang dagu.
Kututup buku agenda untuk memusatkan perhatian kepada Matahari. "Apa?"
"Pernah ikut pentas seni?"
Aku mengernyit. "Enggak."
"Minat untuk ikut?"
"Enggak."
"Kenapa?"
"Soalnya, aku juga enggak bisa menikmati, kan?"
"Aku bukan ngajak untuk menikmati. Aku ngajak kamu buat ikut pentas seni."
"Buat apa? Gak ada gunanya."
Matahari terbahak sampai terbatuk-batuk. Setelah itu dia memukul meja dan terbahak lagi. Matahari memang selalu begitu. Antara tertawa karena benar-benar geli dan tertawa karena benar-benar gila sulit untuk dibedakan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ini dia si Pesimis Hani."
"Namanya realistis. Kata Ayah, dunia hanya bisa bersahabat dengan orang yang realistis."
"Tapi, kadang-kadang perlu menjadi idealis, kan?"
Matahari menepuk kepalaku pelan. Tatapannya. Tatapan itu lagi. Begitu lembut dan penuh makna. Ini adalah Matahari yang berusaha menyinari Hujan. Matahari yang tidak suka melihat orang melihat sisi negatif. Aku sudah pernah bilang kalau Matahari itu positif, kan?
"Memang ada apa? Kenapa tiba-tiba bahas soal pentas seni?"
Matahari mengangkat kedua alisnya. Dia mengambil tisu dari meja dan menekannya ke puncak hidungku yang kembali basah.