---
Terlalu banyak. Terlalu banyak masalah yang sedang menerjangku sekarang.
Aku singgah ke salah satu jembatan dekat sekolah terlebih dahulu sebelum pulang. Jembatan yang 'gosipnya' terkenal dengan tempat favorit orang yang sedang putus asa untuk mengakhiri hidup. Dan aku? Tidak termasuk. Aku hanya ingin memberitahu papa yang sudah pergi meninggalkan aku dan Dylan duluan kalau aku sedang berada dititik terendah, dimana aku butuh seseorang untuk memberiku semangat. Mama dan Dylan sudah sangat sibuk, aku tak mau menjadi beban pikiran mereka lagi hanya karena hal ini.
Dulu, kami berempat –aku , Dylan, mama dan papa- sering ke jembatan, jembatan manapun untuk sekedar melihat sunset setiap minggu. That's why, I love sunset much because it's reminds me with dad.
"Rindu papa, duh" gumamku, setitik demi setitik air mataku jatuh sempurna dipipiku yang serakang terlihat lebih pucat dan tirus sekarang. Sapu tangan yang barusan ku ambil dari tas, yang berniat baik untuk menghapus air mataku malah diterbangkan oleh angin. Tanganku yang sekarang juga kurus berusaha menggapainya kembali, tapi sapu tangan merah jambu itu terbang lebih tinggi lalu mendarat dibawah jembatan, terapung dibawa air.
Bruk! Aku menoleh kesamping, terlihat seorang lelaki berseragam sama sepertiku tengah berlari kearahku. Saat sudah didepanku, ia menarik tubuhku menjauhi pinggir jembatan, "Jangan bunuh diri dong, cantik" katanya terengah-engah.
Eh, bunuh diri? Aku tersenyum, bukan sih, lebih kepada mengangkat bibirku keatas sedikit, merapikan rambutku yang ikut diterbangkan oleh angin sekilas "Nggak, kok" kataku pelan
"Terus lo ngapain berdiri disini kaya pengen terjun?"
"Gue gak pengen terjun, gak pengen jawab pertanyaan lo" ketusku, berbalik arah memungguinya
"Lho, kok marah? Gue traktir makan siang mau gak?" serunya, tanpa menunggu jawabanku, dia menarik tanganku pelan, kearah sepeda yang tergeletak tak jauh dari kami bertemu tadi
Ia mendirikan sepedanya, mungkin suara tadi karena dia menjatuhkan sepedanya. Mungkin. Entahlah, aku tak peduli, aku butuh dia sekarang. Aih maksudku, butuh seorang pendengar seperti dia yang dugaanku bisa meringankan sedihku untuk beberapa saat
"Mau makan apa? Lo gengsi gak kalo naik sepeda gini sama gue?"
"Nasi goreng" jawabku saat sudah duduk dibelakangnya
Jawabanku membuat senyum manis dan lesung pipi menghias wajah ovalnya.
"Nama lo..siapa?" tanyanya memecah keheningan diantara kami yang sedari tadi memang tak ada yang berniat memulai pembicaraan
"Lucy.."
"Cool. Gue Kendra, kalau mau tau sih" ia terkekeh sebentar "Elo..ngapain dijembatan tadi kalau bukan mau bunuh diri?" sambungnya
"Ngenang bokap"
"Emang bokap lo kemana?"
"Udah bahagia sama Tuhan" gumamku padanya, tiba-tiba sepeda yang Kendra kayuh mendadak berhenti, saat aku hendak protes, Kendra malah sedang menatapku lekat-lekat
Dia tersenyum sekilas "Keep strong ya. Kalo mau cerita, cerita aja sama gue" katanya kemudian yang ku balas dengan anggukan
*
"Nasi gorengnya dua, terus.."
"Jus jeruknya dua" sambungku, sementara pramusaji itu menggangguk
"Lo tau darimana gue suka jus jeruk?" tanya Kendra saat pramusaji itu benar-benar pergi
"Tebakan beruntung" jawabku asal, keheningan menyelimuti kami kembali, aku mengambil handphoneku, berniat mau omeglan lagi, to find another bule, tapi baru saja ku unlock, berpuluh sms dan misscall dari satu nomor, membuatku menglocknya kembali
"Kenapa gak jadi main?" tanya Kendra yang mungkin menyadari kalau moodku bertambah buruk
"Gak ada yang seru" gumamku lalu melihat keluar jendela tak berminat untuk memperpanjang lagi.
Pesanan kami datang sesaat kemudian. Aku nyaris merinding melihat banyak cabai dipiring, tanpa basa-basi lagi, dengan telaten aku memilih irisan cabai yang sudah bercampur dengan nasi goreng dan bahan-bahan yang lain.
"Lo gak suka cabe?"
"Iya,"
"Tapi muka lo udah kaya cabe-cabean" katanya dengan tawa tertahan membuatku menelungkupkan sendok dan garpu. Bukan karena tidak lapar, tapi karena nafsu makanku jadi hilang seketika. Salahku menganggapnya bisa menjadi pendengar setiaku. Salah besar
"Eh? Udah kenyang?" tanyanya saat aku hendak berdiri
"Kalau udah ada makanan didepan mata, jangan dicuekin gitu, dong. Yang salah kan gue,"
"Taruh ke sini aja, jangan dibuang, ya" sambungnya lagi sembari menyodorkan pinggirnya. Ini bukan saatnya jaim, Cy. Lo lapar kan?
Sekarang dia sudah selesai berkutat dengan piringku, memilih satu-satu cabai yang sudah terpotong kecil disana, saat Kendra meyodorkan piringku kembali, kucoba untuk mengatakan satu kata yang sebenarnya berat untuk kukatakan
"Makasih.." gumamku pelan
"Huh?" mulai deh,
"Makasih"
"Apaan sih? Gak kedengeran" Oh my Lord
"Makasih, Kendra" seruku dengan penekanan disetiap katanya yang membuat Kendra tertawa geli. Sudahlah, aku sudah lapar
Saat aku hendak menyuap suapan pertama, Ken malah sibuk memindahkan bawang goreng kepinggir piringnya
"Lo gak suka?"
"Gak suka apa?"
"Bawang.." jawabku malas
"Lho? Lo tau juga ya?" katanya lagi dengan intonasi yang terlewat antusias
"Buat gue aja ya" kataku sambil meraih piringnya yang kini dipenuhi cabai, tidak mempedulikan pertanyaan konyolnya
"Hati-hati, masi panas" tegurnya pelan. Hanya perlu beberapa menit untuk memindahkannya, sesaat kemudian, piringku dipenuhi dengan bawang goreng
Baru beberapa suapan, handphoneku mulai berdering, menandakan ada telfon masuk
Stephen
"Tadi makanan, sekarang handphone. Jangan dicuekin dong, kali aja penting?" sahutnya yang masih memandangi benda putih itu
"Kalau mau angkat, angkat aja" balasku ketus. Jujur saja, aku masih teringat tentang Stephen dan Bella beberapa minggu lalu, dan aku masih kesal dengannya
Kendra terlihat ragu, namun akhirnya dia yang meraih benda persegi panjang itu
"Gue Kendra..Dianya gak mau ngomong..Iya,iya"
Aku memberi isyarat 'kenapa' dengan satu alis terangkat. "Cowok lo mau bicara" balasnya
"Gue gak mau" jawabku santai lalu melanjutkan makanku yang terhenti
"How can you say you dont want talk to your boyfriend but you still talk with other boy?" seru Stephen dari ujung telfon, ternyata Kendra mengloud speaker, namun mengatur volumenya agar hanya aku dan dia yang mendengar
"Cowok lo bule?" Kendra meletakkan handphoneku diatas meja, namun sambungan telfon dengan Stephen masih tetap terhubung
"Iya.."
"Logatnya kagak nahan" balas Kendra dengan tawa tertahan lagi
"Kadang ngesok gitu" jawabku, terdengar Stephen memanggil namaku berkali-kali namun tak ku hiraukan
Mungkin karena kesal, Stephen mematikan sambungan secara sepihak, spontan, tawaku dan tawa Kendra menyatu dan membuat seluruh pengunjung lain disana menatap kami jengkel
"Ken,"
"Apa?"
"Thanks berat ya"
"For?"
"Made me laugh"
"Anytime, Lucy"
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Distance Love
Teen Fiction"Distance never separates two hearts that really care, for our memories span the miles and in seconds we are there. But whenever I start feeling sad, because I miss you, I remind myself how lucky I am to have someone so special to miss :) " © 2014 b...