---
14 messages received
From: Stephen (Phone)
There are three words, that I've been dying to say to you
From: Stephen (Phone)
Burns in my heart, like a fire that ain't goin' out
From: Stephen (Phone)
There are three words, and I want you to know they are true..
From: Stephen (Phone)
I need to let you know
From: Stephen (Phone)
I wanna say I love you, I wanna hold you tight
From: Stephen (Phone)
I want your arms around me and I, want your lips on mine
From: Stephen (Phone)
I wanna say I love you, but, babe I'm terrified
From: Stephen (Phone)
My hands are shaking, my heart is racing
From: Stephen (Phone)
Cause it's something I can't hide, it's something I can't deny
From: Stephen (Phone)
So here I go...
From: Stephen (Phone)
Lucy I love you :) Happy first month, Baby <3
From: Stephen (Phone)
We may be far away from each other for now, but you have my heart and my love.
From: Stephen (Phone)
And I know that I have yours, too. 1 month and still counting :)
From: Stephen (Phone)
Im going to go to Jakarta tomorrow ;) See you soon at 9am, Sweetheart x
14 pesan singkat dari Stephen yang dikirimnya jam 12 tepat, bertepatan dengan genapnya satu bulan hubungan kami. Saat aku hendak menelfonnya, kedua mataku bertabrakan dengan jam weker yang ada di samping tempat tidurku.
Oh my Lord, its 9:45
---
Aku mengklakson mobilku beberapa kali, kesal dengan macet yang tak ada habisnya ini. Karena sedari tadi mobilku –maksudku mobil Dylan yang kurampok sebentar- tak bergerak, kuyakinkan hatiku untuk turun dari mobil. Walau aku tau jarak bandara dari sini masih lumayan jauh, but who cares? Untung saja tadi aku memakai sepatu converse abu-abu, apa jadinya kakiku kalau tadi aku menggunakan high heels?
Setelah melewati berpuluh-puluh kendaraan, akhirnya aku sampai di Bandara Soekarno Hatta. Kepalaku terus sibuk celingak celinguk kanan kiri, aku juga sudah tanya dengan beberapa pegawai namun mereka belum pernah melihat orang yang sedang tersenyum manis didalam foto yang kuperlihatkan melalui handphoneku.
Akhirnya kakiku melemas, aku terduduk didepan bandara layaknya anak kecil yang tengah tersesat. Saat satu panggilan masuk, lamunanku buyar seketika.
"Cy.." Panggil suara yang sedang terengah-engah itu yang kuyakini adalah Dylan.
"Stephen tabrakan pas lagi dijalan mau ke rumah. Cepetan ke RS dekat rumah, sekarang!"
"Sum-"
"DAMN!" Umpatku keras saat menyadari Dylan memutuskan sambungan sepihak. Langsung saja aku mencegat taksi yang kosong yang baru saja hendak melewatiku. Setelah menyebutkan alamat, taksi itu membawaku pergi menjauh dari bandara.
Aku segera berlari menuju meja resepsionis setelah sampai dan membayar taksi,
"Stephen Corey, kecelakaan baru aja" kataku cepat dalam satu tarikan nafas.
"Ruang akasia, Mbak. Lurus aja, belok kanan, yang paling ujung sebelah kiri"
Aku kembali berlari, membiarkan air mata yang sedari tadi keluar tanpa berniat menghapusnya, ku acuhkan pandangan orang yang sedang melihatku. Saat tanganku menyentuh kenop pintu ruangan akasia itu, sebagian hatiku meyakinkanku kalau aku takkan sanggup. Tapi otakku menyuruhku untuk tetap membukanya. Anggota tubuhku lebih mematuhi perintah otakku, dengan ragu, tanganku membuka pintu itu perlahan. Tercium aroma obat-obatan ketika aku melangkah ke dalam ruangan.
Saat pintu terbuka sepenuhnya, tubuhku menegang melihat pemuda dengan baju hijau khas rumah sakit terbaring lemah dengan perban dikepala, tangan, dan beberapa bagian tubuh lainnya.
Dylan yang menyadari kedatanganku, menghampiriku. Ia memeluk tubuhku erat seakan tau sebentar lagi akan semakin rapuh. Aku hanya diam saat Dylan membimbingku kearah tempat tidur Stephen. Wajah Stephen saat ini sangat damai.
Perempuan yang sedari tadi diam menatapku, kini meronggih tas putihnya. Bella berjalan kearahku, membuat Dylan melepaskan pelukkannya, primadona sekolahku ini menyerahkan sebuket bunga mawar putih yang sekarang malah bebercak darah. Ada selembar kertas yang terselip disana, terlihatlah tulisan tangan Stephen,
I'll wait till u ready to be part of my life <3
Aku tak kuasa menahan tangis lagi, Bella memelukku,
"Dia sayang banget sama lo, Cy. Pas udah sampai di bandara, dia nyebut nama lo mulu. Disitu gue sadar, gue gak bakalan pernah dapetin hati Stephen. Because he's all yours, Lucy"
Bella lalu memberikanku kotak beludru hitam persegi empat, melihat aku yang hanya melihat kotak itu dengan tatapan kosong, Bella langsung membukakannya untukku. Kalung berliontin hati, dia membuka liontin itu, terlihatlah fotoku sedang tertidur dikiri, disebelahnya foto Stephen berpose sama denganku, namun tangan kanannya terlihat seperti merangkul seseorang.
"Itu nunjukkin kalo saat itu dan selamanya, Stephen pengen meluk lo, pengen dideket lo. Gak mau jauh dari lo dalam tidur sekalipun. Get it?" Jelas Bella padaku, dia tersenyum. Itu senyum tertulus yang pernah kulihat dari bibir Bella.
Ia lalu menarik kertas merah muda kecil yang tertindih kalung itu.
Always be mine, Lucy :)
Tangisku kembali pecah, dengan segera Dylan menarik tubuhku pelan untuk dipeluk, air mataku mulai membasahi kemeja merah lengkap dengan jas dan dasi yang dikenakan Dylan sekarang. Tangannya mulai membelai rambutku pelan,
"You know something? You always hurt me when you cry, Lucy, trust me, everything gonna be okay" bisiknya ditelingaku. Aku merasakan dejavu. Stephen pun pernah mengatakan ini padaku saat dia akan pergi ke Singapura bersama Bella.
Bukannya berhenti menangis, tangisanku kini malah semakin kencang. Tangan kananku meraih tangan kanan Stephen. Ditengah tangisku, ku rasakan kalau tangan Stephen mulai bergerak, aku mendorong tubuh Dylan pelan, menggenggam lebih erat tangan Stephen, lebih kuat pula ku rasakan kalau tangan Stephen memang benar-benar bergerak.
"Dokteeer!" teriakku sekencang yang ku bisa. Dylan langsung keluar untuk mencari dokter. Bella menarik tanganku menuju kursi, kutepis tangannya kasar, pintu ruangan Stephen tiba-tiba terbuka, terlihat beberapa suster dan seorang dokter masuk.
Suster berkerudung putih membawaku keluar, dibantu Dylan dan Bella, sedangkan dokter itu kini sedang memeriksa tekanan darah Stephen. Semakin aku memberontak, semakin kuat mereka menyeretku.
Ku teriakkan nama Stephen berulang kali saat pintu ruangan itu tertutup. Aku bisa melihat dari kaca pintu itu kalau mata Stephen sudah terbuka sekarang, bibirnya bergetar, mengucapkan sesuatu yang mustahil untukku dengar.
Kulihat salah satu suster berjalan cepat kearah pintu, "Disini ada yang bernama Lucy? Tuan Stephen menyebut namanya terus menerus" kata suster itu pelan, namun menusuk telingaku. Ia mengeluarkan kepalanya sedikit. Langsung saja aku menerobosnya untuk masuk, menangis dengan kencang saat mendengar Stephen secara langsung menyebut namaku dengan lirih.
"Pen, ini aku, Lucy.." Kataku pelan, membuat Stephen yang awalnya memejamkan mata, kini sukses menatapku. Satu kalimat yang kuingat sebelum pandangku gelap adalah saat Stephen mengatakan,
"Kamu siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Distance Love
Dla nastolatków"Distance never separates two hearts that really care, for our memories span the miles and in seconds we are there. But whenever I start feeling sad, because I miss you, I remind myself how lucky I am to have someone so special to miss :) " © 2014 b...