3 - DOUBLE KILL!

2K 116 2
                                    

Jessie Westlife.

Aku tersenyum girang kepada Jessie.

"Hah, gadis tolol! Kau ini lemah dan polos, apa yang akan kau lakukan padaku, hah?" tantang Jessie.

"Membunuhmu," jawabku singkat, tanpa basa basi.

Jessie tertawa lebar. "Membunuhku? Ah, kau ini terlalu polos, Viona. Apa kau tidak punya kaca di rumah? Aku yakin, kau tidak akan berani melakukannya. Aku anak kepala sekolah, tau?!"

Aku tertawa. "Mau anak kepala sekolah atau anak pemulung, apa bedanya untukku?"

Jessie menjadi geram. "Beraninya kau-?!" ucapnya sambil menggerakkan tangannya untuk menampar pipiku. Dalam waktu hitungan detik, aku menahan tangannya dan Jessie membulatkan matanya karena terkejut.

Tep. Aku mencengkram tangannya kuat, Jessie mengaduh kuat dan aku yakin saat ini tulang pergelangan tangannya sudah retak akibat cengkramanku. Tak hanya itu, aku membuka paksa mulutnya dan merobeknya selebar mungkin. Jessie menjerit kesakitan, inilah yang kusuka. Penyiksaan!

Seorang psikopat tidak suka langsung membunuh. Dia lebih menyukai 'proses'nya dalam membunuh seseorang. Ia lebih suka menyiksanya terlebih dahulu, perlahan lahan agar melihat korbannya menderita dan kesakitan, setelah puas barulah ia membunuh korbannya tanpa ampun.

"Sepertinya ini menyenangkan," ucapku sambil mengambil pisau dagingku dan memotong jari jarinya hingga darahnya mengucur deras. Aku menghitung potongan jari jari itu,

"Ada sepuluh, hm.." ucapku sambil menyicipi darah yang mengucur dari jari itu. Darah manusia rasanya lezat sekali, entah kenapa aku baru menyadarinya.

"Le.. Lepaskan aku atau akan kuadukan kau kepada ayahku!!" teriak Jessie sambil menangis. Wajah cantik yang sering ia sombongkan, kini rusak akibat ulahku. Biar saja dia merasakan penderitaannya, toh dia sering membuat telingaku panas dengan kata kata pedasnya.

"Astaga, tidak punya jari tapi masih saja cerewet!" aku menggelengkan kepala, kesal. "Adukan saja. Kau boleh mengadukanku, kapanpun. Tapi itu jika kau masih hidup."

"Le.. Lepaskan aku.. Kumohon.." nada suara Jessie jadi bergetar ketakutan. Bulir bulir air mata mengalir dipipinya, meminta ibaku barang sedikit saja. Tapi aku tak perduli, kuraih lidah Jessie dan kupotong lidahnya dengan pisauku. Haha. Kini dia takkan bisa bicara lagi, akan kubungkam mulutnya yang menyebalkan itu selamanya.

Aku melihat matanya yang menunjukkan sorot mata kasihan, meminta ibaku untuk menghentikan aksi psikopatku. Tapi inilah aku, psikopat! Pembunuh sadis berwajah ceria. Menyembunyikan jati diri dengan sejuta topeng yang takkan bisa ditembus orang selain diriku sendiri.

"Sentuhan terakhir, sayang." ucapku sambil menusuk perutnya dengan pisau. Yah, aku sudah cukup puas menuruti nafsuku akan menyiksa oranglain. To the point saja, aku langsung menusuknya dan Jessie tewas seketika akibat kehabisan darah.

Korban keduaku selesai, ah entah kenapa aku mulai bosan.

Ini terlalu mudah, sangat mudah malah.

"Ah, sial." ucapku sambil menatap jasad Jessie yang tewas, "Darahnya mengotori rok biruku. Aku jadi harus mencuci rokku lebih awal di laundry, huh!"

"Eh, siapa itu?!" teriak seseorang, menutup mulutnya dengan kedua tangan karena terkejut. "Jessie-"

Aku menoleh. Astaga, Salma! Dia melihatku membunuh Jessie! Astaga, matilah aku! Aku buru buru berlari, dengan nafas memburu, kaki kaki kecilku menapak lantai dengan  kecepatan tinggi hingga aku yakin Salma tidak akan melihatku atau mengejarku.

Sial. Apa yang harus kulakukan?!

Ah, tidak ada pilihan lain, Viona.

Kau harus membunuh Salma sebelum identitasmu terbongkar.

***
Bersambung gan :v

PSIKOPATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang