10 - PLANE

860 58 3
                                    

"Apa yang kau bicarakan? Aku tidak mengerti." ucapku sopan, berpura pura tidak paham. Dia pasti sengaja melakukan jebakan dan aku harus cerdas memahaminya.

"Tak usah berpura pura, kau itu psikopat dan aku masokis. Kita sama sama kelainan jiwa." Albert tertawa dan aku memicingkan mata, waspada.

Masokis. Aku berusaha mengingat istilah itu, sepertinya itu familiar dan identik dengan kelainan jiwa. Psikopat juga kelainan jiwa, cowok itu memang benar tapi aku tidak akan mempercayainya mentah mentah begitu saja.

Ah! Masokis adalah kelainan jiwa dimana orang yang menderita kelainan itu akan merasa senang bila disakiti atau direndahkan, dan memiliki fantasi liar akan hidupnya. Jika psikopat sepertiku mendapat kesenangan dengan cara membunuh atau menyakiti seseorang, maka masokis sebaliknya. Ia mendapatkan kesenangan dengan cara disakiti. Jadi, seorang masokis sudah mati rasa dengan rasa sakit. Wajar saja jika Albert malah tertawa saat darah mengucur dari bahunya. Kini aku mengerti.

"Baru paham?" tanyanya. Aku hanya tercenung sesaat.

"Itu tidak penting, dan aku tidak perduli." ucapku singkat, kemudian membayar makananku dan menyeret koperku. "Kau tidak akan menyuruhku membayar makananmu, bukan?"

Albert terkekeh, "Tentu saja tidak."

"Bagus." ucapku sambil keluar dari restoran. Pesawatku akan take off satu jam lagi, dan aku tidak ingin terlambat. Apalagi hanya untuk mengurus masokis sialan itu.

Aku duduk di bangku pesawat sambil menatap kearah jam. Lima belas menit lagi pesawat akan terbang menuju kota kelahiranku. Para penumpang menaiki pesawat dan mencari bangku yang sudah tertera di tiket mereka, aku hanya menatapnya cuek dan memilih menatap jendela saja.

"Kita bertemu lagi, nona."

Aku menoleh, terkejut. Albert tiba-tiba datang, memberikan senyum aneh dan duduk di sampingku dengan asal. Hei, ini pesawat, bukan bis yang bangkunya bisa dipilih sembarangan.

Apakah cowok ini penguntit?

Aku memasang raut wajah waspada. Sementara Albert santai saja, bahkan memandangiku dengan tatapan biasa.

"Siapa kau sebenarnya?!" desisku.

Albert terkekeh, "Takdir yang membawaku kemari. Aku hanya mengikuti kemana arah kakiku berjalan. Itu saja."

"Shit!" tidak. Aku tidak boleh gegabah. Tapi kau tahu, seorang psikopat selalu merencanakan segalanya dengan rapi.

Pesawat mulai terbang, menembus awan-awan biru. Aku memandangi jendela pesawat, tapi bukan berarti aku bersenang-senang di sini. Aku sedang memikirkan cara untuk membunuh seseorang, dan aku berjanji, setelah membunuh Arda, akan kubunuh cecunguk di sampingku ini secepatnya.

Sementara Albert, yang tak sadar dirinya berada didalam rencana jahatku, tertidur dengan headset di telinga. Mata empatnya terpejam, kalau dilihat-lihat dia dan penampilan culunnya tampan juga.

Tapi aku yakin, dibalik penampilannya yang terkesan lugu dan bodoh, pasti ada sebuah rencana di baliknya. Aku tidak boleh terlena.

Seorang psikopat tak pernah memiliki emosi. Dan cinta adalah salah satu emosi yang harus dibuang jauh-jauh dari bumi.

Argh, persetan, kenapa aku harus memikirkannya?

Aku memegang kepalaku kesal, nyaris menjambak rambutku sendiri. Demi apapun, sungguh, canggung sekali berada di suasana seperti ini!

"Ya Tuhan, kapan perjalanan mengesalkan ini segera berakhir?! Aku ingin menuntaskan misiku cepat-cepat! Pisauku sudah lama kuasah, otakku juga sudah penuh rencana jahat tanpa terealisasikan. Aku ingin semuanya berakhir!"

***
Awalnya nggak mau nerusin cerita ini, karena nggak bakat psikopat sama sekali. Tapi melihat antusiasme kalian, aku jadi nggak tega dan berusaha namatin :3

Kira-kira, apakah Viona bisa menuntaskan misinya?

PSIKOPATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang