Aku membuka pintu rumahku, dan kuhirup udaraku dalam-dalam. Aku sendirian di sini, tetapi kurasa itu lebih dari cukup. Kulirik Albert di sampingku, yang mengangguk-angguk seperti ayam mabuk.
"Kau bisa tidur di sofa, atau di kolong meja sana, aku tak perduli. Jangan keluar sebelum kusuruh. Di sini, kau hanya akan jadi kacung," ucapku datar.
Albert hanya diam saja, ia berjalan menuju ruang televisi dan menyalakan televisi semaunya. Persetan saja. Bagiku, televisi hanyalah musik kekerasan dan penguntitan selebritis kurang kerjaan.
"Sayah menikah dengan Raimo karena dia itu pengusaha syukses... Jangan pada julid dong, cyin..." Suara televisi itu terdengar samar, menampilkan wawancara seorang selebritis kontroversi yang baru menikah di Jepang.
Persetan apa yang Albert tonton!
Aku berjalan menuju ruangan rahasiaku. Ruangan berisi koleksi kepala, toples-toples lucu berisi bola mata biru milik Sarah, juga jari-jari tangan berdarah yang cocok dijadikan gantungan kunci.
Tubuhku bergetar hebat. Jantungku berdegup, menginginkan korban lagi. Kupegang erat pisau di tanganku, dan kulirik Albert yang masih santai dengan televisi.
Tidak. Tidak sekarang.
Targetku adalah Arda!
Hasrat membunuhku semakin besar, semakin kentara. Dengan apa aku harus membunuh Arda? Menebas lehernya, atau menusuknya dengan pisau tumpul yang menyakitkan?
Membiarkan darahnya menetes-netes, satu jari telunjukku akan mengubek seluruh organnya dan mencicipi darahnya. Pasti menyenangkan.
***
Pagi hari. Aku mencium sebuah bau makanan di dapur. Albert memasak dua piring omelet di meja makan.Aku mulai meragukan sesuatu di balik celananya. Sebenarnya dia itu laki-laki atau perempuan?
"Aku laki-laki masokis yang suka memasak dan membersihkan rumah. Kalau kau berpikir untuk menyayatku, itu bukan masalah. Aku baru saja melakukannya," Albert terkekeh sembari memperlihatkan tangannya yang berdarah-darah.
Aku hanya diam, kuambil perban di kotak obat yang bertengger di dinding, lalu kusodorkan kepadanya kasar. "Pakailah. Aku tidak berniat membunuhmu sekarang, aku punya target lain."
"Oh? Baiklah." Albert menurut.
Perasaan aneh melingkupiku. Apa ini? Aku tidak bisa mengontrol detak jantungku sendiri. Aku tidak terbiasa tinggal berduaan dengan lelaki. Sial.
"Psikopat?" panggil Albert.
"Namaku Viona," akhirnya, aku mau membuka suara. Albert hanya tersenyum. "Panggil aku Nona Viona, Cecunguk Sial," ralatku.
"Terimakasih," Albert mendekatiku, lalu memelukku. Erat sekali.
Dasar masokis sialan. Mesum!
Aku diam, tidak pula terharu. Aku bukan manusia sentimentil seperti itu. Hatiku terlalu kaku tanpa emosi.
Andai manusia di depanku ini bukan Albert, aku pasti akan menusuknya dengan pisau dari belakang. Membiarkan raganya jatuh tanpa nyawa, lalu merebusnya menjadi bakso daging yang menggiurkan.
Albert mendekatkan wajahnya padaku, hingga hidung kami bersentuhan. Sialan. Kenapa aku tidak berusaha mendorongnya jauh-jauh? Kenapa aku malah diam saja seperti orang tolol?
"Lepaskan aku, Sialan," aku buru-buru mendorong Albert menjauh. Sialan. Dari dekat, dia terlalu tampan untuk disebut lelaki kelainan jiwa. "Aku harus pergi ke sekolah, untuk mendaftar. Aku punya target di tempat lain."
"Oh, jadi kau pembunuh bayaran?" tanya Albert penasaran.
"Berhenti mencari tahu dan kau akan aman, dasar Kacung." Aku pergi meninggalkan rumah setelah menyantap asal omeletnya.
Sialan. Lidahku sepertinya sudah rusak.
Omelet buatannya enak sekali!
***
BersambungOke. Aku update gais :))
Nungguin lapak ini up, nggak?:')

KAMU SEDANG MEMBACA
PSIKOPAT
Mystery / Thriller[Rank 312 di #Thriller] Membunuh? Itu rahasiaku. Memutilasi tubuh menjadi dua belas bagian, menebas kepala dengan kapak dan mencekik leher korbanku hingga jatuh seperti bangkai tikus. ...Atau, menyayat tangan mereka, menikmati darah hingga tetes t...