13 - HEADMASTER

664 49 14
                                    

Double up bulan ini!
Hehe ada yang kangen aku up story satu ini?

Warning! Gore Story 👅🔪

***

"Anda diterima, Zizi Aurelia." Kepala sekolah menyalamiku dengan hormat, aku hanya mengangguk anggun dengan amplop di atas meja.

Aku kembali menggunakan identitas sebagai Zizi, karena jika aku menggunakan identitas sebagai Viona Mareta maka aku akan ketahuan pernah menjadi seorang narapidana yang sempat buron.

Memang, aku harus menjalani beberapa tes untuk menjadi bukti fisik bahwa aku bisa melewati pelajaran nanti dengan baik. 100 soal dengan berbagai mapel disodorkan kepadaku, dan aku mengerjakannya dengan waktu nyaris satu jam.

Dengan sedikit 'sogokan' pada Kepala Sekolah maruk ini juga, pastinya.

"Sudah," ucapku sembari meletakkan pulpenku asal, persetan dengan guru senior yang sibuk mengoreksi jawabanku. Aku kembali memutar bola mata.

"Aku pulang sekarang," ucapku langsung, bangkit berdiri.

"Ah, silakan." Kepala sekolah tersenyum ramah, kalau kulihat-lihat kepala sekolah ini benar-benar nyentrik dengan jam tangan warna emas dan cincin-cincin akik mahal yang melekat di berbagai jarinya.

Bisa jadi dia memakai cincin di jempol kakinya. Rambutnya yang agak memutih di pomade licin ala anak remaja. Penampilannya rapi, dan orang-orang yang suka pamer kemewahan seperti itu biasanya tipe-tipe penjilat. Matanya hanya akan terikat oleh uang, uang, dan uang.

Tetapi, aku tidak mengatakan apa-apa. Seorang psikopat selalu memastikan semuanya sempurna, dan terencana. Tidak pernah gegabah.

Aku tersenyum, emosiku kembali meluap-luap tak terkontrol, tapi sebisa mungkin kutahan. Aku tak mungkin membunuh seseorang hari ini, atau mungkin saat ini.

Aku buru-buru meninggalkan ruang kepala sekolah, dengan harapan Albert tidak mengacak-acak rumahku saat ini. Astaga, kenapa aku malah memikirkan dia? Tidak penting!

Berjalan beberapa langkah saja, aku melihat kepala sekolah gemuk itu sedang berjalan menuju kamar mandi. Hasratku untuk membunuh tak mampu kutahan lagi, apalagi saat menyadari aku belum menambah korbanku saat berada di kota ini.

Aku tersenyum smirk.

"Bagaimana jika aku membuat sekolah ini libur satu hari?" pikirku.

Saat kepala sekolahku memasuki kamar mandi, aku menguntitnya perlahan. Persetanlah jika aku dikatakan mesum.

Tepat saat pria tambun itu hendak menutup pintu, aku menahan pintunya dengan senyum lebar.

"Nona Zizi, ad-ada apa? Ini bukan tempat yang tepat untuk anda." Kepala sekolahku itu terkejut, tapi sebisa mungkin bersikap formal. Berwibawa, sayangnya munafik!

Aku tersenyum miring.

"Berhenti menyebut namaku, Kepala Sekolah Sialan," ucapku. "Kau tahu kenapa aku ke sini?"

"Ke-kenapa?"

Ah, polosnya. Aku tersenyum makin lebar, kemudian kuambil pisau yang selalu kuselipkan di celana belakangku. Pria tua itu terlihat ketakutan, berusaha mencari pertolongan tapi percuma. Aku telah mengunci kamar mandi ini dan kupastikan tidak akan ada yang akan memasukinya.

Karena, aku telah meletakkan papan lantai dipel di depan pintu kamar mandinya.

Nice.

Aku menikmati segala ketakutan dan kengerian yang pria itu tunjukkan. Kepala Sekolahku itu tak lebih dari seorang bayi yang merengek meminta pertolongan.

"Matamu terbutakan oleh uang, kan?" Aku tersenyum. "Kalau banyak siswa yang membayar untuk bisa bersekolah di sini, mengapa sekolah ini tidak menunjukkan perubahan yang pasti? Apakah kau menggunakannya untuk membeli cincin-cincinmu itu?"

"Ah, Nona... Saya-"

"Matilah kau, Sialan!" Aku menusukkan pisauku tepat ke mata kepala sekolahku, dan dia berteriak kesakitan saat itu juga.

Kedua matanya yang melotot kini mengeluarkan darah segar, mengalir deras membasahi wajah keriput yang selalu ia agungkan.

Pria paruh baya angkuh itu menjerit kesakitan, memohon dengan sumpah serapah untuk menghentikanku, tapi aku terlanjur tak mau berhenti.

Aku menusukkan pisau dagingku itu ke dada kirinya, membuat lubang menganga di sana, menghancurkan tulang rusuknya dan mengacak-ngacak organ di dalamnya dengan riang. Darah mengucur deras, dan kepala sekolahku sudah tak bernyawa lagi.

Kurasa, ia sudah membusuk di neraka sana.

"Selamanya, cincin-cincin kesukaanmu itulah yang akan terkubur bersamamu." Aku mencabut paksa cincin-cincinnya dan memasukkannya ke lubang dada kreasiku. Tanganku berlumur darah, dan terkekeh geli saat tak sengaja menyentuh jantungnya. Tapi tak masalah, aku bisa membersihkannya.

Kutinggalkan mayat mengenaskan Kepala Sekolahku itu di dalam kamar mandi.

"Rasanya menyenangkan." Aku tersenyum lebar, dan keluar dari kamar mandi setelah membersihkan pakaian dan tanganku. Aku juga meletakkan pisauku ke tempat yang seharusnya.

"Teman-temanku, hari ini kalian akan libur, menyenangkan bukan?"

***

Bunuh-bunuhan lagi setelah lama nggak bunuh orang 😱😱😱

Asupan gore inii 🔪👌

OMG! Semoga ngefeel ya.

Vote+komen dong biar ku semangat bikin cerita ini sampai akhir 💪👀

Libur libur libur mantap jiwah😍😍😍

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 06, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PSIKOPATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang