3. Gengsi

58 13 43
                                    

Hiruk piruk Aula semakin terdengar. Kadar oksigen di dalamnya yang semakin berkurang, membuat sekelompok manusia di dalamnya merasa sesak. Namun mau tidak mau, mereka harus tetap disini. Tidak peduli apakah mereka sudah tampil belum, mereka tetap harus disini. Menunggu acara selesai.

"Selanjutnya, nomor urut 17, Alena dari kelas XI-4," ucap Kak Darren lantang.

Alena pun maju ke depan. Sedangkan Agatha dan Neira bersiap diri, karena setelahnya, merekalah yang harus maju.

"........." Alena menyanyikan lagu Adele dengan sangat emosional. Aula yang tadinya ramai, menjadi sunyi. Semua pasang mata menikmati lantunan melodinya.

***

"Pengap banget, nggak kuat. Untung udah selesai." Agatha yang baru keluar bersama Neira dan Alena itu mengibaskan tangannya, berharap udara dapat masuk ke rongga hidungnya.

"Ke kantin dulu deh, Gath. Gue butuh asupan," ujar Neira yang kemudian langsung berjalan mendahului mereka. Mau tidak mau, Agatha mengikuti, begitupun Alena.

Seperti perkiraan mereka, kantin itu sudah ramai dipenuhi siswa yang jelas-jelas asalnya sama dengan mereka bertiga. Mata Neira semakin memelas, seolah tak ada harapan baginya mendapat setidaknya sebotol air minum.

"Gila sih ini, makin rame. Kantin juga yang buka cuma satu," keluhnya.

"Satu orang aja yang pesen. Biar nggak sesak," usul Agatha dengan anggukan Neira yang menyertainya. "Iya bener, tapi gue nggak kuat. Bisa mati gue desekan disana."

Alena yang berada ditengah-tengah mereka akhirnya menimpali, "Ya sama, Emangnya cuma lo doang yang sesak?" ucapnya.

Reaksi Alena itu membuat Agatha kembali mengambil tindakan. "Udah, biar gue aja yang antri. Kalian duduk gih!"

Neira dan Alena berjalan lunglai. Tak punya cukup tenaga untuk berdebat, lagi.

Semburat senja semakin terlihat. Karena itulah, kantin di sekolah mereka hanya satu yang masih sedia. Semua pasti sudah pulang, mengingat ada keluarga yang harus diurus.

"Gue heran deh, Nei. Tahun ini kok peminat padus banyak banget ya?" Gadis bernama Alena itu memulai percakapan mereka. Niatnya ingin lebih dekat, tapi sayang, manusia bernama Neira itu tak merespon banyak.

Mengangguk lalu menelungkupkan kepalanya.

Ada banyak hal yang ingin Alena ketahui. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan. Dan teramat keinginannya untuk berteman dengan Neira.

"Lo kenapa sih, sama gue?" tanya Alena tiba-tiba. Setelah itu, perempuan di depannya mengangkat kepala. "Gue?"

"Iya lah, elo."

"Biasa aja."

"Diajak ngomong aja cuma manggut-manggut doang." Alena kembali mencibir sambil terus menatap manik mata lelah milik Neira.

"Gue cuma lagi capek aja, Alena."

"Tapi kan, setidak-"

"Kita nggak cukup kenal buat saling ngobrol. Udah, gitu aja. Nggak usah berisik!"

Mereka sama-sama terdiam di keramaian kantin. Alena hanya mengangkat bahunya, dan berpikiran bahwa Neira tak menyukainya.

Alena harap, ia memiliki setidaknya bahan obrolan berbobot yang bisa membuat dirinya dan Neira mengobrol. Tapi nihil, hingga Agatha datang, mereka masih saja terdiam.

"Kok cepet, Gath?" tanya Alena sambil membuka tutup botolnya. Sementara Neira yang katanya 'butuh asupan' itu sudah menghabiskan hampir setengah botol air.

Happen Ending Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang