Malam minggu yang kedelapan kau bertamu di rumahku. Seplastik martabak kau bawa bersamamu. Aku sudah menduganya sejak Jumat kemarin, kau pasti akan kemari membawakanku sekotak martabak.
Masih dengan tawa yang sama kau berujar padaku, "Biasanya kau tidak pernah dandan. Apa kau sengaja dandan hari ini karena tahu aku mengajakmu pergi?"
Aku tersenyum singkat dan berusaha terlihat biasa saja, menutupi keantusiasanku pergi denganmu, "Tidak juga. Apa salah jika aku dandan?"
Kau tertawa mendengar jawabku. Aku lalu izin padamu tuk menaruh martabak ke dalam, sekaligus pamit dengan orangtuaku. Entah malam ini kau mengajakku ke mana. Tiap minggunya, kau selalu mengajakku ke tempat-tempat baru.
Ketika kutahu kau ingin lebih serius, aku masih mereka-reka perasaan sendiri. Sejak kehadiranmu pada tiap malam minggu, aku seolah memiliki pasangan. Perlahan namun pasti, kebiasaan menghabiskan malam minggu denganmu menjadi hal yang kunantikan,
menjadi kebutuhan yang wajib dipenuhi, dan menjadi penenang tidurku kala malam. Meski begitu, keraguanku bertambah besar, antara meyebut ini cinta atau terbawa perasaan ketika kau memberi perhatian.Di saat aku sibuk mereka-reka perasaanku, kau mendadak berhenti bertamu. Tanpa pamit, tak lagi mendapat sapamu saat pagi tiba. Dari situlah, aku berhenti mereka-reka. Tak ada yang perlu direka lagi, ketika kau mumutuskan pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Puisi
PoesíaBayangan itu unik, dengan segala kegelapannya, segala kebisuannya, ia hadir. Satu yang tak bisa dipungkiri-kenyataannya ia dekat denganmu