BAGIAN 1
Brakk.. botol minuman jatuh dari genggaman Awan, kemudian
menggelinding kasar kearah pintu yang tertutup. Mata anak-anak-yang sedang menggerombol bersama Awan terus mengikuti jejak botol tersebut.
Brakk!! untuk kedua kalinya botol air mineral itu membuat suara keras. Kali ini tidak hanya suara, tapi juga kekacauan. Tutup botol terlepas lantas setengah isi botol-yang berisi air tumpah di depan pintu kelas.
"Kamu kalah untuk yang pertama kali, Awan." Rian berseru, kemudian diikuti gelak tawa anak-anak yang sedang menggerombol bersamanya. Awan menggigit bibir, berseru tertahan. Mana mungkin dia kalah dalam permainan yang sudah dikuasainya. Lempar botol. Itu adalah permainan yang dulu pernah
dimainkan Awan dan teman temannya ketika bersekolah di Madrasah dahulu.
Kini ia duduk di kelas sepuluh.
Sebenarnya hari ini ada sesuatu yang berbeda di kelas. Jam kosong dari
jam pertama. Itu adalah surga dunia bagiku, Awan, dan kawan-kawan. Tetapi ternyata jam kosong tidak seseru yang kami bayangkan. Kebanyakan dari murid di kelas justeru mengantuk karena tidak ada kerjaan.
Sebagian lagi sudah ada yang tertidur pulas, murid perempuan yang lain justeru memanfaatkannya untuk pergi ke perpustakaan-tapi tidak dengan diriku karena aku enggan meninggalkan kaca jendela. Karena boring, sebagian murid lelaki menghabiskan waktu untuk memainkan sebuah permainan konyol yang di dapat dari ide si bodoh-Awan.
Pemain akan menang jika ia berhasil melempar botol berisi air ke udara lantas mendarat mulus dengan posisi tegak. Mungkin itu tidak terlalu sulit untukku, tetapi mana mungkin aku melakukan hal bodoh seperti yang dilakukan Awan. Aku berdiri di samping jendela kelas-tidak ke perpustakaan, mengabaikan hobi membacaku untuk sementara.
Aku menatap pemandangan yang terhampar di bawah bangunan sekolahku. Kebetulan kelasku berada di lantai tiga, jadi pemandangan cukup mengesankan jika kita lihat dari kaca jendela kelasku. Ini adalah hobiku dari kali pertama aku menginjakkan kaki di ruangan ini.
Aku selalu menatap pemandangan dari kaca jendela, aku juga sengaja duduk di barisan tepi-yang dekat dengan kaca jendela. Pemandangan itu akan semakin
indah jika dilihat ketika hujan turun seperti hari ini. Suasana akan berubah, lebih mengesankan tentunya. Bagiku kebahagiaan amat sederhana. Cukup menatap tempias air hujan di kaca jendela sudah cukup membuat perasaanku damai.
Tempias hujan itu memang membuat pemandangan menjadi blur tapi terlepas dari itu semua ini membuatku merasakan kebahagian yang mungkin tidak dirasakan
orang lain.
"Ayoo, cepat. Kamu pilih siapa?" Ari mendesak Awan.
"Di kelas sekarang hanya ada satu perempuan, Wan." Rian menimpali,
menahan tawa tapi tetap saja badanya bergetar karena terpingkal.
"Kalaupun ada perempuan seluruh dunia di kelas ini, aku akan tetap
memilih Meme." Awan tersenyum, teman-teman bersorak meledek. Eh? Apa aku tidak salah dengar, bukankah aku adalah musuh abadi bagi awan. Aku menghela napas pendek sembari tetap menatap sang hujan-pura-pura tidak paham dengan apa yang dibicarakan mereka. Jelas saja sebenarnya aku paham, siapa yang kalah dari permainan itu harus merayu salah satu perempuan di kelas.
"Me!" Rian berseru memanggilku, aku menoleh. Seluruh gerombolan itu
menatapku tersenyum, entah senyuman kasian atau ledekan tapi yang jelas itu negatif. Awan menghampiriku di depan kaca jendela. Aku menatap tidak peduli.
"Em, Me? Aku juga suka hujan, aku bisa menemanimu hujan-hujanan."
Awan tersenyum simpul menatapku. Sementara tawa anak-anak meledak
memenuhi langit-langit kelas.
"Eh?" Aku menelan ludah. Memperbaiki anak rambut di dahi.
"Jangan Ge-er, Me, ini karena hukuman saja." Awan berbisik. aku
menyeringai, mendengus kesal. Siapa juga yang Ge-er. Kalau suasananya tidak banyak orang, mungkin aku sudah menimpuknya dengan sepatu. Aku menunduk-bukan karena malu, tapi lebih karena malas menatap wajah kusutnya.
Aku berani bertaruh, pasti tadi pagi dia tidak mandi.
"Sudah. Aku sudah merayu Meme. Kita lanjutkan permainannya."
Anak-anak tertawa, melanjutkan permainannya.
***
Sepulang sekolah, Mama menjemputku di jalan depan rumah. Hari ini aku naik angkutan umum karena Mama pasti marah kalau aku berjalan kaki ketika hujan. Padahal sebenarnya aku ingin hujan-hujanan di jalan-membiarkan titik air yang lembut itu menerpa wajahku. Tapi kalau Mama melihat itu, mungkin untuk tiga tahun kedepan Mama akan mengantarku ke sekolah.
Angkutan umum mulai mengurangi kecepatannya saat melintasi jalan di depan rumahku. Pak supir sudah hafal dengan alamatku, karena setiap berangkat
sekolah aku memang naik angkutan umum. Aku segera turun, menaruh tas di ataskepala untuk menghindari hujan-lebih tepatnya menghindari amukan Mama.
Mama bergegas mendekatiku, melindungiku dengan payung super lebarnya. Aku nyengir lebar, malu dilihat teman-teman yang masih berada di angkutan umum.
"Ayo, bergegas, Tari. Bajumu sudah basah." Mama menarik tanganku
kuat-kuat saat melintasi pagar. Aku diam, hanya menurut.
Mama memberiku coklat panas saat aku selesai mandi, kemudian Mama
menghidangkan makanan lain di meja makan.
"Kan Mama sudah bilang, Ri. Kamu harus membawa jas hujan kemana-mana. Jadi, saat turun dari angkutan umum kamu tidak kehujanan." Mama meletakkan
piring di depanku, mengambilkan nasi dan lauk. Aku meletakkan gelas coklat panas di meja, menghela napas perlahan.
"Mentari sudah lima belas tahun, Ma. Tari bisa jaga diri sendiri, Mama
tidak perlu khawatir."
"Bisa jaga diri bagaimana? Hal kecil seperti membawa jas hujan saja
kamu tidak bisa, bagaimana kamu bisa jaga diri?"
Aku mengangkat bahu, merasa tidak bersalah. Mulai mengambil sendok
dan menikmati makan siang. Hari ini Mama memasak sup jagung kesukaanku.
"Kamu janji, ya? Jangan membuat Mama khawatir seperti saat itu." Mama menunduk. Aku hampir saja tersedak mendengar kalimat terakhir Mama. Aku kira
Mama sudah melupakan kejadian satu tahun yang lalu.
"Eh? Maafkan Mama membuatmu terkejut." Mama menyodorkan segelas air putih, aku meminumnya dengan sekali tegukkan.
"Maafkan Mama." Mama menunduk. Aku menggeleng. Tidak masalah. Aku meletakkan sendok, menatap lamat-lamat mata perempuan separuh baya yang melahirkanku lima belas tahun yang lalu itu. "Tari bahkan sudah melupakan kejadian itu, Ma. Kenapa Mama masih suka membahasnya dalam keadaan tertentu?"
Satu tahun yang lalu, ada sebuah kejadian mengerikan. Saat itu adalah hari ulang tahunku, 13 Mei. Hari itu sekaligus menjadi hari yang paling kuingat hingga kapanpun. Ketika aku bangun dari tidur malamku, pukul dua belas malam-karena itu hari ulang tahunku, jadi aku berniat melihat detik-detik menjelang usia
baru. Tapi saat itu semuanya berubah menjadi petaka.
Tiba-tiba lampu rumah padam, entah apa yang terjadi. Bukan. Bukan itu petakanya, masih ada satu hal lagi yang akan menjadi sejarah besar dihidupku.
"Listriknya padam." Aku bergumam pelan, menelan ludah untuk menghilangkan kekhawatiran. Lima menit lengang di kamarku, aku mencoba mencari senter untuk penerangan. Aku meraba-raba meja belajar mencari senter.
Tepat saat senter itu ada di tanganku, Mama berteriak panik. Suaranya terdengar di bawah-di dapur. Demi mendengar teriakan panik itu, aku bergegas menuju
keluar kamar. Asap tebal memenuhi ruang bawah, seketika aku mematung. Mama, di manakah Mama? Aku panik, tapi tubuhku terlalu kaku untuk bergerak.
Apa yang harus aku lakukan? Papa sedang di Bali, ada rapat penting tentang resortnya disana. Apa aku harus ke bawah? Aku meneguhkan niat untuk menolong Mama, aku berlari menuruni anak tangga. Asap tebal menyeruak masuk ke hidungku saat aku tiba di pintu dapur.
Mama, dimanakah Mama? Aku tidak bisa melihat apapun, bukan karena gelap tetapi karena mataku perih terkena asap. Ruangan ini justeru terang benderang oleh api. Ya, api. Aku bahkan sudah menyadarinya sejak tadi bahwa ini adalah kebakaran. Aku menutup hidung dengan lengan kananku, mencoba mencari Mama di ruangan itu.
"Mama?!!" Aku berteriak parau, menagis. tetap tidak menemukan Mama.
Aku berusaha berjalan lagi-meski mataku perih. Terlihat sebuah lampu jatuh di lantai, seluruh perabotan hangus. Lemari penyimpanan makanan di dapur sudah terbakar setengahnya. Mama, dimanakah Mama? Aku terus menguras sudut
ruangan dengan mata perih, tidak ada Mama di ruangan ini. Apa jangan-jangan Mama.. air mataku mengalir deras demi membayangkan hal itu, napasku tersengal. Aku benar-benar membutuhkan oksigen saat ini atau aku tidak lagi bisa
bernapas.📃📃📃📃📃📃📃📃
Mau tahu bagaimana keadaan Mentari selanjutnya? Apakah dia selamat dalam peristiwa itu? Please follow and vote yaah.. 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGENTA
Fantasy"Kau menganggap dunia ini terlalu sederhana bukan? tidak kawan, dunia ini rumit. persis seperti memahami angin. Dia tidak terlihat tapi dia ada."