Awan. Lagi-lagi anak itu membuat aku kehilangan selera untuk menikmati
hidup. Bagaimana tidak? Setelah membuatku marah karena makiannya di kelas, dia belum puas.“Sebagai permintaan maaf, kamu mau tidak aku temani pulang?” Awan menghentikan motornya di pinggir jalan. Menatapku. Setelah kejadian di kelas itu aku memilih untuk pergi dari kelas, membiarkan butir air merengkuh tubuhku. Aku berlari keluar gerbang sekolah. Berjalan kaki menuju halte, aku memilih naik bus kota hari ini. Namun ketika aku berjalan di pinggir jalan menuju halte, lagi-lagi anak usil itu menggangguku.
Awan kini memarkir motornya di pinggir jalan, dia mengikutiku dengan berjalan kaki. Aku melihat seragam putihnya mulai basah.
“Kamu tahu tidak, Me?”
“Tidak”
“Dan kamu mau tahu atau tidak kalau..”
“Tidak”
“Jutek banget sih, Me!” Awan menaikkan volume suara, membentakku. Aku tetap berjalan santai tidak memperdulikannya.“Hari ini tidak ada bus kota.” Awan menyambung kalimatnya, aku terus berjalan ke halte.
“Sok tahu” Aku berucap datar.
“aku tidak sok tahu, Me! Supir busnya lagi malas melihat wajah murungmu,” Aku menyeringai lebar, tersenyum tipis ke arah Awan.
“Naik motor bareng aku saja, semua anak perempuan di sekolah bermimpi bisa aku bonceng loh, Me.”
“Diam! Atau aku..”
DARRR!!! Sebelum kalimatku tiba diujungnya, petir lebih dulu membuat
tenggorokkanku tercekat. Kami terkejut, Awan terlihat menutup matanya.
Sementara hujan semakin deras, aku rasa kota kami akan banjir untuk beberapa
menit ke depan. Aku harus segera tiba di halte. Tapi aku pikir pulang bersama
anak usil itu merupakan pilihan yang lebih tepat.“Ayo, Me!” Awan lebih dulu menarik tanganku kasar. Suaranya samar antara terdengar dan tidak, kalah dengan suara derasnya hujan. Awan menarikku berlari menghampiri motornya. Aku? Benar-benar pilihan yang tepat dari pada menunggu bus di halte lalu membiarkan diriku menjadi saksi air bah memenuhi kota.
Kami menerobos derasnya hujan. Awan menarik gas secepat mungkin, melakukan manuver di tengah derasnya hujan. Kali ini aku tidak mendongak untuk menikmati hujan. Butir air hari ini sangat besar, sakit sekali jika mengenai tubuh. Baju kami basah, bahkan sangat basah. Sama seperti korban kapal Titanic yang tercebur ke laut.
Kami sudah setengah perjalanan. Rupanya Awan jago sekali melakukan manuver dengan motornya, kali ini harus aku akui kalau dia memang berbakat dalam hal ini.
“Kita lewat gang ya, Me, di depan sepertinya macet.” Aku diam, mengiyakan kata-katanya. Ya Tuhan, Aku baru teringat sesuatu. Bukankah jalan ini sudah melewati rumahku? Apa yang aku pikirkan? Bagaimana aku bisa selupa
ini, apa gara-gara aku memikirkan Awan, Ah.. Tidak. Seketika aku panik. Aku menggigit bibir, menyeka rambutku yang basah.“Awan.. Kamu apa-apaan sih, Rumahku sudah tertinggal jauh di belakang, kita harus putar balik, kembali! Kamu sih sok tahu tentang rumahku, kenapa tadi
nggak tanya dulu rumahku dimana? Dasar bodoh!”“Kamu tuh yang bodoh, salah sendiri nggak minta berhenti. Sekarang kita
di gang sempit, tidak mungkin putar balik. Bisa lihat tidak?! Kanan kiri kita
perumahan semua.”“Aku nggak mau tahu, pokoknya aku mau pulang sekarang, sekarang!”
“Bodoh,”
“Awan..!” Aku memukuli tubuhnya, aku benar-benar sebal, dari awal aku sudah punya prasangka buruk pada Awan. Mana mungkin musuh abadiku mau mengantarkanku pulang dengan niat tulus? Itu mustahil. Yaampun, Mentari..
Bagaimana bisa kamu sebodoh ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGENTA
Fantasy"Kau menganggap dunia ini terlalu sederhana bukan? tidak kawan, dunia ini rumit. persis seperti memahami angin. Dia tidak terlihat tapi dia ada."