Hujan deras mengguyur kota kami, gunung-gunung di tepi kota tidak terlihat, kabut putih menutupinya. Semak-semak di pinggir jalan menunduk-nunduk tertimpa titik air. Aku mengamatinya dari dalam angkutan umum.
Memandangi hujan dari jendelanya. Sepertinya beberapa hari ke depan hujan akan tetap turun, dan ini menyenangkan. Tiba-tiba angkutan umum berhenti di sebuah perumahan elite di kotaku. Aku heran, siapa yang ingin naik angkutan umum?
Bukankah kawasan ini adalah tempat orang kaya?
“Kenapa berhenti, Pak?” Aku mendongak, melihat ke luar angkutan
umum. Pak supir tidak menghiraukan pertanyaanku—Sifatnya memang seperti itu. Cuek. Belum juga aku mengulangi pertanyaanku, seorang anak laki-laki naik ke dalam angkutan umum dan duduk di sampingku. Pak supir kembali menekangas. Wajah anak itu terlihat kusut, rambutnya berantakan, bahkan bajunya tidakdimasukkan. Aku menggeser posisi duduk.
“Kamu kenapa?” Dia mengambil permen karet dari sakunya. “Tidak perlu menjauh, wajahmu tidak terlalu buruk untuk duduk disampingku.” Anak itu berbicara tanpa menatapku, ia sibuk membuka bungkus permen karet lalu membuang bungkusnya sembarangan.
“Eh?” Aku hampir saja menepuk dahi. Awan, dia selalu saja menyebalkan.
“Tidak bisakah kamu diam untuk hari ini saja?” Aku menjawabnya ketus, malas berdebat.
“Katanya genius, tapi kenapa pelajaran yang kemarin sudah lupa?” Dia mengunyah permen karetnya, sama sekali tidak menatapku. Aku menoleh padanya, tidak mengerti. Sebagai jawaban, Awan hanya tertawa. “Senang sekali
melihatmu kesal, Me.”
“Kenapa kamu menyuruhku diam? Semua orang punya hak untuk
menyatakan pendapat. Pasal berapa ayat berapa, Me?” Awan membalas
tatapanku, aku menyeringai kesal. Mengacak rambutnya agar lebih berantakan.
Awan membalasku dengan menarik dasiku kuat-kuat sehingga kepalaku membentur dahinya.
“Kamu sudah gila?!” Aku berseru ketus, memegang kepalaku. Tiba-tiba
angkutan umum berhenti mendadak, tubuhku terhuyung jatuh. Awan
membiarkannya. Padahal aku berpikir dia akan menolongku. “Kalian diturunkan dari angkutan umum karena mengganggu ketertiban!” Pak supir angkat bicara.
Eh? Bukan aku, tapi Awan. Dia yang memulainya. Aku berdiri, mengambil jas hujan di tas. Seharusnya aku tidak keluar angkutan umum karena hal konyol tadi. Ini bukan salahku. Aku mendengus kesal, tapi aku harus keluar.
“Pak, biar aku saja yang keluar. Anak keren sepertiku memang tidak
pantas naik angkutan umum, gadis resek ini lebih pantas. Biar dia tetap disini.” Awan membuang permen karet yang dikunyahnya tepat di depan kakiku.
📃📃📃📃📃📃Jangan lupa jejaknya ya.. Dan maaf kalo ada typo. Dan kayaknya bakal pending lama nih cerita.. Makasih udah baca.. Love you mblo 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGENTA
Fantasy"Kau menganggap dunia ini terlalu sederhana bukan? tidak kawan, dunia ini rumit. persis seperti memahami angin. Dia tidak terlihat tapi dia ada."