"Mama!" Aku berteriak kalap saat melihat Mama berada di dekat kompor
listrik. Wajah Mama cerah. Berlari memelukku. Saat itu tubuhku benar-benar
lemas, wajahku pucat pasi, dadaku sesak karena kehabisan oksigen. Mama
memelukku erat. Aku melihat pakaiannya terbakar sebagian tapi Mama seperti
tidak menghiraukannya. Api di pakaian Mama bahkan bisa menghilang dengan
sendirinya ketika tubuh Mama memelukku. Aku tersenyum, Mama baik-baik saja.
"Bertahanlah, Nak." Mama berbisik, air matanya membahasi bahuku.
Masih ada kalimat lain setelah ucapan itu tetapi aku tidak bisa lagi mendengar
kalimat Mama yang selanjutnya. Aku benar-benar kesulitan bernapas, lalu tidak
sadarkan diri.
Mataku terbuka ketika sinar jingga kemerahan menerpa wajahku. Papa ada
disampingku, bersama Mama yang mulai menitihkan air mata. Ini dimana? Aku
benar-benar tidak mengenali ruangan ini. Selang infus membelit tanganku,
ranjang tinggi, dan.. oksigen? Rumah sakit. Ini adalah rumah sakit. Aku menelan
ludah, meski kecut.
Kejadian tadi benar-benar di luar dugaanku. Hari ini seharusnya menjadi
hari yang paling bahagia seperti yang kami rencanakan dari jauh hari. Malam
nanti seharusnya ada perayaan pesta ulang tahun di Resort milik Papa. Pesta ulang
tahun putri semata wayangnya. Aku menahan butiran air di mataku. Bukankah
baru seminggu yang lalu aku senang melihat Pak Tarjo mengantar undangan ke
teman-teman? Bukankah baru tiga hari yang lalu Papa menjanjikan ruang khusus
fantasi untukku-sekaligus menjadi kado ulang tahunku. Bukankah baru kemarin aku berbahagia menerima paket gaun pesta, tapi kenapa? Seperti ada yang sengaja
menumpahkan tinta pekat ke aliran sungai bening. Kebahagiaan itu luntur begitu
cepat.
"Semuanya akan baik-baik saja, Tari." Papa memegang bahuku. "Kita
akan tetap berangkat ke Bali hari ini sesuai rencana, meskipun pesta terpaksa di
batalkan. Pesiapan pesta telah hancur, kue ulang tahun, gaun ulang tahun, dan
barang-barang penting lain hangus terbakar. Tapi kamu tidak perlu sedih, kita bisa
makan malam bersama di Resort nanti. Maafkan Papa." Papa menghela napas.
Aku menggeleng, tidak masalah.
"Kita akan tinggal di Resort untuk sementara waktu. Rumah itu butuh
sedikit perbaikan karena terbakar." Papa menjelaskan. Aku mengangguk.
Mama terlihat diam sejak tadi, entah kenapa. Ada sesuatu yang Mama
sembunyikan, aku merasa ada yang ganjil dengan sikap Mama. Entahlah. Terlihat
jelas sekali ada penyesalan di mata Mama, aku melihatnya. Mama memelukku,
menciumku. Air mata Mama mengalir deras. Aku baik-baik saja, apa yang Mama
khawatirkan? Saat itu aku sama sekali tidak bisa memahami apa yang terjadi
sebenarnya. Kebakaran itu.. apakah disengaja?
***
Saat ini, kembali ke ruang makan.
"Kebakaran itu menewaskan Pak Tarjo? Apa itu yang Mama sesali?" Aku
menatap wajah Mama, setelah lima menit lengang. Mama hanya menggeleng, air mata itu jatuh lagi. Aku menghela napas. Inilah alasan kenapa aku memilih untuk
menghapus peristiwa itu dari memori ingatanku.
"Tidak," Mama menggeleng, Aku benar-benar telah kehilangan selera
makan sejak tadi. Aku berdiri, menghampiri Mama dan memeluknya.
"Mama.. Kejadian itu sudah terlewat jauh, Ma. Bahkan rumah ini sudah
kembali megah seperti dulu sebelum kebakaran. Tidak ada yang perlu disesali."
Mama terisak dalam pelukanku. Aku melepas pelukan, menghapus air mata
perempuan dihadapanku.
"Semua yang terjadi karena kesalahan Mama, Tari. Kamu tidak pernah
mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Malam itu tidak seperti yang kamu
bayangkan. Apa kamu pikir Mama bangun pukul 12 malam untuk membuat
hidangan pesta? Itu tidak mungkin, perayaan ulang tahunmu direncanakan di
resort dan itupun masih malam harinya lagi. Apa kamu tidak menyadari ada yang
ganjil?" Aku menelan ludah. Mama benar, ini memang tidak mudah dipercaya.
Dan inilah yang sesungguhnya menjadi pertanyaan terbesarku semenjak satu
tahun yang lalu. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa ada orang jahat yang sengaja
membakar rumah kami?
"Kamu harus mengerti satu hal penting, Tari. Sesungguhnya api malam itu
datang dari tangan Mama." Mama merendahkan volume suara, menatap tajam
mataku. Apa maksudnya? Keluar dari tangan Mama? Mama sekali lagi menghela
napas panjang, memperbaiki posisi duduknya di kursi. Seperti ada hal penting yang ingin disampaikan. Aku benar-benar tidak bisa menebak arah pembicaraan
ini.
"Dengarkan baik-baik, Tari. Kamu harus paham siapa Mamamu
sebenarnya," Aku menyimak Mama, tiba-tiba dadaku berdegup kencang. Aku
tidak pernah melihat Mama seserius ini.
"Mama bukan dari dunia ini. Mama bukanlah penduduk bumi. Mama lahir
di klan lain. Lapisan spektrum cahaya, tepatnya di kota Jingga. Kamu mungkin
tidak mengerti soal ini. Begitu juga dengan penduduk bumi yang lain, mereka
tidak menyadari bahwa ada kehidupan lain selain di bumi. Ada kehidupan pada
seberkas cahaya, Tari. Ada makhluk hidup disana. Kamu boleh tidak percaya
dengan apa yang baru saja Mama ucapkan, tapi pada kenyataannya kamu lahir
dari rahim salah satu penduduk dari dunia itu. Lapisan spektrum cahaya." Mama
menghembuskan napas. Aku seketika mematung. Tidak percaya dengan kalimat
Mama, bahkan aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dibicarakannya
barusan. Lapisan spektrum cahaya? Apa hubungannya dengan peristiwa setahun
yang lalu? Aku masih terdiam ketika Mama melanjutkan kalimatnya.
"Setiap kota dalam lapisan spektrum cahaya memiliki kekuatan yang
berbeda. Mama berasal dari kota Jingga, dan kekuatan Mama adalah
mengeluarkan api. Semakin sering kekuatan itu digunakan, maka semakin besar
pula kekuatan itu. Mama sudah melupakan kekuatan itu semenjak Mama pindah
ke bumi. Mama sudah meneguhkan niat untuk menjadi penduduk bumi. Tapi
entah kenapa tiba-tiba Mama ingin sekali mencoba kekuatan itu, bagaimanapun juga Mama diciptakan untuk menggunakan kekuatan itu, Tari. Tidak
menggunakannya berarti sama seperti orang cacat. Itulah alasan kenapa malam itu
Mama mencoba melatih kekuatan. Tetapi setelah sekian lama tidak
menggunakannya, Mama tidak bisa mengendalikan api yang keluar. Semakin di
paksa berhenti, api itu justru semakin besar."
Aku kembali diam, mencoba mencerna kalimat Mama. Tidak mungkin. Ini
rasanya seperti mimpi. Jika Mama adalah keturunan dunia lain, berarti aku?
Tidak. Aku adalah penduduk bumi sejati. Aku menghela napas panjang berusaha
menenangkan diri. Menerima kenyataan. Ruang makan yang didesain klasik ini
lengang, menyisakan suara percik hujan di luar rumah yang mulai mereda.
"Apa Papa tahu soal ini?" Aku mencoba berbicara senormal mungkin.
Sebagai jawaban, Mama hanya menggeleng pelan. "Mama tidak berani
mengatakannya pada Papamu. Mama pindah ke bumi untuk menghindari
kecamuk perang antara Kota Magenta dan Kota Merah yang melibatkan Jingga.
Orang tua Mama mengirim Mama ke bumi untuk menghindari kekacauan kota. Di
kota Jingga, kakekmu adalah ilmuwan hebat, dialah satu-satunya orang yang tahu
bahwa ada kehidupan lain selain di lapisan cahaya. Itulah mengapa Mama bisa
ada disini. Mengenal Papa dan lahirlah kamu."
Aku menelan ludah. Pengakuan Mama sepertinya telah memperburuk
selera makanku. "Apa aku juga bisa mengeluarkan api dari tanganku?"
"Kemungkinan besar tidak, Tari. Ada gen lain dalam tubuhmu, yaitu dari Papamu.
Kalau Mama yang jadi dominannya, mungkin kamu bisa mengeluarkan api. Sekarang Mama tanya sama kamu, Apa kamu bisa melihat warna magenta
spektral murni? Kalau iya, kamu positif memiliki kekuatan itu." Ya tuhan, Mama
ini bicara apa? Apa Mama lupa aku adalah gadis lima belas tahun. Aku tidak
memahami apa yang dibicarakannya. Magenta spektral murni? Warna yang
bagaimana?
"Mama akan menunjukkan sesuatu padamu." Mama menarik tanganku,
mungkin ia melihat ada pertanyaan besar di mataku. Mama mengajakku melintasi
anak tangga, tujuan kami adalah lantai atas. Kamar Mama. Aku bisa melihat isi
kamar ini ketika Mama membuka pintu kamar. Tidak ada yang istimewa di
dalamnya, sama seperti kamar kebanyakan. Ada satu buah lemari di sudut
ruangan, foto pernikahan orang tuaku juga digantung rapi di dinding. Mama
menunjukkan sebuah prisma bening yang terbuat dari kaca. Benda itu diletakkan
di laci meja. Mama memegang benda itu. "Itu benda apa, Ma?" Aku
mengamatinya.
"Prisma," Mama menjawab. Bukan itu maksud pertanyaanku. Begitu
naifnya Mama dengan menjawabnya seperti itu. Mama lalu menutup semua
gorden, mematikan lampu. Ruangan ini seketika gelap. Tidak ada cahaya
sedikitpun. Mama membawa prisma itu ke dekat gorden, aku membututinya.
Kemudian ia membuka gorden kaca seminimal mungkin, membiarkan seberkas
cahaya putih matahari menerpa prisma. Ternyata cahaya tersebut dipecahkan
menjadi susunan cahaya berwarna yang indah. "Ini namanya dispersi. Ada berapa warna primer disana?" Mama tidak
mengalihkan pandangan dari benda bening tadi. "Eh?" Aku terkejut, kenapa
Mama bertanya seperti itu.
"Cahaya adalah spektrum berkesinambungan dari panjang gelombang,
yang berarti bahwa terdapat jumlah warna yang tidak terhingga. Akan tetapi mata
manusia normalnya hanya memiliki tiga jenis alat penerima atau reseptor yang
disebut dengan sel kerucut-yang berada di retina. Inilah yang merespon panjang
gelomang cahaya tertentu. Manusia serta spesies lain yang memiliki tiga macam
reseptor warna disebut makhluk trichromat. Sedangkan spesies yang memiliki
empat reseptor warna disebut tetrachromat, mereka bisa melihat warna ultraviolet
sampai dengan 300 manometer, sedangkan makhluk trichromat hanya bisa
menangkap 400 manometer."
"Makhluk tetrachromat menggunakan empat warna primer dan warna
primer keempat itu adalah magenta spektral murni yang kemungkinan bertempat
di panjang gelombang yang lebih rendah dan kemungkinan warna itu lebih murni
dari sekedar warna magenta yang biasa kamu lihat. Setiap penduduk lapisan
spektrum cahaya bisa melihat warna itu, jika kamu bisa melihatnya berarti kamu
juga bisa mengeluarkan api."
Aku lagi-lagi menelan ludah, mencerna kalimat Mama kemudian menatap
prisma di tangan Mama. Aku bisa melihat banyak sekali warna di sana. "Apa
kamu hanya melihat tujuh warna pelangi?" Aku menggeleng. Aku melihat banyak
warna disana. "Kamu melihat warna ungu? Apakah ada warna lain di samping warna
ungu?" Mama menginterogasiku, aku tersenyum, sepertinya aku memiliki
kekuatan yang sama dengan Mama. Entah kenapa aku merasa menjadi makhluk
lain saat ini, dan menurutku ini keren. Menyenangkan. Aku bahkan lupa kalau
beberapa menit yang lalu aku menahan napas setiap mendengar kalimat Mama
tentang dunia lain. Aku tidak peduli, aku baru saja menyadari sesuatu hal. Bahwa
kalau memang aku berasal dari dunia lain, itu artinya aku istimewa.
"Tari, warna apa yang kamu lihat disamping warna ungu?" Mama tidak
sabaran mendengar jawabanku. "Nila," Aku menjawab datar.
"Ya tuhan, bukan yang arah itu, Tari." Aku tahu, aku terdengar naif sekali
menjawab pertanyaan Mama. Sampingnya ungu adalah warna yang tidak
disebutkan dalam susunan pelangi. Aku tidak tahu warna apa, Mama menyebutya
magenta spektral murni.
"Mama, yang jelas aku melihat banyak warna. Bukan hanya tujuh warna
pelangi."
Mama mengangguk, kemudian membuka seluruh gorden, menyalakan
lampu. "Mama harap kamu tidak menggunakan kekuatanmu saat di bumi, itu
berbahaya, Tari." Mama berjalan menuju laci meja, menyimpan kembali benda
bening tadi. Aku mendengus kesal, harusnya aku bisa menggunakan kekuatan itu.
Ini sungguh luar biasa, sejak kecil aku menyukai dunia fantasi dan ternyata semua
yang aku sukai adalah kenyataan. Ah, tidak. Ini bahkan lebih menyenangkan dari
sekedar halusinasi menjadi puteri. "Berjanjilah, Tari." Mama memecah lamunanku. Aku mengangguk untuk
menghindari amukan Mama.[]
.
.
.
Jangan lupa jejaknya ya.. Btw itu maaf tulisannya acak acakkan. Langsung copas dari ms.word soalnya masih males ngedit, karena lagi fokus sama cerita sebelah (ikrar) 😂 maklum ya...
Happy terus mblo.. 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGENTA
Fantasy"Kau menganggap dunia ini terlalu sederhana bukan? tidak kawan, dunia ini rumit. persis seperti memahami angin. Dia tidak terlihat tapi dia ada."