2

106 22 21
                                    

"Aku terasing di tempat yang seharusnya menjadi tempat pulang."

Tahun pertama kuliah—semester dua, sudah memasuki fase di mana aku benar-benar merasa tekanan kuliah mulai menumpuk. Selain berjuang dengan pembelajaran daring dan masalah keuangan, ada satu hal lagi yang bikin aku agak pusing: iuran dan kewajiban yang harus dipenuhi.

Jadi, di awal semester ini, mahasiswa baru diwajibkan untuk membayar berbagai macam iuran. Mulai dari iuran HIMA (Himpunan Mahasiswa) yang entah kemana duitnya, beli almamater, baju PDH (Pakaian Dinas Harian), baju lab, sampai iuran kepanitiaan. Rasanya, semua kewajiban ini datang bertubi-tubi dan bikin dompet tipis.

Iuran HIMA dan Baju-baju Wajib

HIMA ini adalah organisasi mahasiswa yang katanya bakal banyak bantuin kita selama kuliah. Tapi, entah kenapa, iuran ini terasa kayak beban tambahan yang nggak jelas manfaatnya. Aku paham sih, kalau untuk kegiatan mahasiswa dan pengembangan diri, tapi rasanya biaya yang harus dikeluarkan cukup memberatkan, apalagi dalam situasi pandemi ini.

Lalu, ada juga pembelian almamater dan baju PDH yang wajib. Kalau di pikir-pikir, almamater dan baju PDH ini sih baju-baju resmi yang harus dipakai di kampus. Tapi, di tengah kuliah online, kadang aku merasa beli baju-baju ini kurang penting, terutama saat semua kegiatan dilakukan dari rumah. Namun, tetap aja, pembelian ini menjadi salah satu kewajiban yang harus dipenuhi.

Belum lagi baju lab. Buat yang ambil jurusan sains, baju lab ini juga menjadi salah satu kewajiban. Di tengah kuliah online, baju lab sepertinya hanya jadi pajangan di lemari. Rasanya, aku nggak pernah membutuhkannya di rumah, tapi tetap aja, harus membeli.

Iuran Kepanitiaan dan Perasaan Tertekan

Dan, seperti yang mungkin bisa dibayangkan, ada juga iuran kepanitiaan. Ini yang paling bikin stress. Biasanya, ada acara-acara yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi atau panitia di kampus, dan iuran ini digunakan untuk mendukung acara tersebut. Tapi, seringkali, iuran ini datang dengan banyak tuntutan, mulai dari beli atribut acara sampai sumbangan yang entah kemana.

Jadi, sebagai mahasiswa baru, aku merasa tertekan dengan semua kewajiban ini. Rasanya, setiap bulan ada saja biaya yang harus dikeluarkan, dan kadang bikin kita merasa seperti dikejar-kejar oleh iuran yang tidak ada habisnya. Sementara itu, pendapatan dari orang tua atau pekerjaan sambilan mungkin tidak mencukupi, dan harus pintar-pintar mengatur keuangan supaya tidak boros.

Sudah memasuki tahun kedua kuliah—artinya, aku sudah di semester tiga dari delapan semester yang harus kutempuh. Rasanya, semuanya semakin berat. Selain pandemi yang memaksa kita harus kuliah dari rumah, aku merasa banget kekurangan teman.

Bicara soal kuliah online, dari pendaftaran, ospek, hingga pembelajaran, semua dilakukan secara daring. Buat teman-temanku yang tinggal di kota kampus, ini mungkin bukan masalah besar. Mereka bisa pulang-pergi dengan jarak yang cukup dekat, bahkan PPKM tidak begitu mengganggu karena jarak yang ditempuh hanya satu atau dua jam. Tapi, aku? Aku terjebak di tempat yang sama selama setahun terakhir.

Setiap kali ada kesempatan untuk datang ke kampus, pasti ada saja kesialan yang datang tidak terduga. Misalnya, awal tahun 2021, aku sudah berencana untuk berangkat, tapi tiba-tiba kuliah kembali dilakukan daring. Dan, tentu saja, salah satu alasan utamanya adalah biaya. Iya, biaya—sebuah masalah klasik yang bikin pusing.

Kenapa Kuliah Online Itu Keberuntungan?

Bisa dibilang, aku merasa sedikit beruntung bisa mengikuti kuliah secara online. Kenapa? Karena kuliah online cuma butuh kuota internet yang harus aku beli sekitar 200 ribu per bulan. Bayangkan kalau kuliah harus tatap muka di kampus. Aku harus bayar kost sekitar 500 ribu per bulan, uang makan sekitar 300 ribu per bulan, dan biaya transportasi sekitar 500 ribu per bulan—belum lagi biaya tak terduga untuk fotocopy, print, atau kebutuhan lain yang bisa muncul kapan saja.

Jadi, meskipun kuliah online bikin kita harus berjuang dengan kuota internet yang terbatas, setidaknya aku tidak harus mengeluarkan biaya sebesar itu. Tapi, ada juga sisi gelapnya.

Kehilangan Koneksi dan Kendala Belajar

Kerugiannya adalah, aku seringkali merasa kesulitan memahami apa yang diajarkan dosen. Selain otakku yang memang nggak gampang ngerti, aku juga kekurangan referensi belajar. Biasanya, aku bisa belajar bareng teman, tapi sekarang semuanya dilakukan daring. Belajar kelompok lewat Zoom, misalnya, malah bikin kuota lebih boros dan tambah bikin stres.

Bagi sebagian orang, membeli kuota dengan harga segitu mungkin bukan masalah. Tapi, bagi mereka yang secara finansial terbatas, ini benar-benar jadi tantangan. Pandemi telah merosotkan sumber ekonomi kami, dan aku harus pintar-pintar mengatur uang supaya tidak kehabisan.

Sekolah: Tempat Pulang atau Tempat Jenuh?

Sekolah atau kampus adalah tempat pulang kedua bagi banyak anak muda. Tempat di mana kita merasa nyaman, di mana kita bisa berkembang dan belajar bersama teman-teman. Tapi, selama setahun terakhir, aku hanya bisa berada di rumah—tempat yang seharusnya juga menjadi tempat pulang utama. Dan ternyata, meskipun rumah adalah tempat yang seharusnya nyaman, kadang malah membuat kita merasa jenuh.

Kadar jenuh itu datang dari rutinitas yang monoton—bangun pagi, kuliah daring, makan, tidur, lalu ulang lagi. Terlebih, tidak ada interaksi fisik dengan teman-teman, tidak ada ngobrol langsung atau bercengkerama seperti dulu. Semua terasa seperti dilihat dari balik layar kaca yang dingin dan tidak bersentuhan langsung.

Belajar dari Kesulitan

Namun, dari semua kesulitan ini, ada pelajaran berharga yang bisa diambil. Meskipun kita harus menghadapi banyak rintangan, kita belajar untuk lebih mandiri, lebih kreatif dalam mencari solusi, dan lebih sabar dalam menghadapi tantangan. Ini juga mengajarkan kita untuk menghargai hal-hal kecil yang sering kali kita anggap remeh, seperti kebersamaan dengan teman, dan kesempatan untuk belajar langsung dari pengajaran dosen.

Tempat pulang sebenarnya bukan hanya fisik, tapi juga hati. Meskipun aku terasing di tempat yang seharusnya menjadi tempat pulang, aku belajar bahwa tempat pulang bisa dibentuk dari hubungan dan pengalaman yang kita miliki. Dan meskipun saat ini mungkin terasa berat, aku percaya bahwa semua ini adalah bagian dari perjalanan yang membentuk kita menjadi lebih kuat dan lebih siap menghadapi masa depan.

Di Balik Layar: Perjalanan Kuliah Angkatan CoronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang