12

12 5 7
                                    

Organisasi Toxic? Tergantung sudut pandang sih

Selama kuliah online ini, aku merasakan banyak perubahan dalam hidupku—bukan hanya dalam cara belajar, tetapi juga dalam cara aku berinteraksi dengan dunia di sekitarku, termasuk dalam organisasi. Aku punya pengalaman yang cukup menantang dengan sebuah organisasi di kampus, yang ternyata memberikan pelajaran besar dalam hidupku, walau tidak semuanya menyenangkan.

Semua dimulai ketika aku mendengar bahwa organisasi tertentu di kampus membuat anggotanya wajib bergabung dengan mereka. Organisasi ini bukan sembarang organisasi; mereka memegang peran penting dalam berbagai kegiatan kampus dan sering terlibat dalam acara-acara besar. Tapi di balik semua glamor dan reputasi itu, ada sisi lain yang tidak begitu terlihat—dan aku akhirnya merasakannya sendiri.

Waktu itu, aku baru saja memasuki semester awal, dan ada tekanan besar untuk bergabung dengan organisasi tersebut. Mereka membuat pernyataan bahwa mahasiswa baru wajib memiliki pengalaman organisasi, dan mereka mendorong setiap orang untuk bergabung dengan organisasi mereka. Dibilang bahwa ini adalah kesempatan emas, dan jika kita tidak bergabung, kita akan dianggap tidak aktif atau kurang berkomitmen.

Dan yang membuatku semakin ragu adalah senior-senior di organisasi ini. Mereka adalah orang-orang yang sama yang terlibat dalam ospek jurusan—ospek yang penuh dengan tekanan, aturan ketat, dan perlakuan yang sangat senioritas. Aku masih ingat betapa menegangkannya pengalaman ospek itu. Kami diperlakukan seperti anak kecil, dengan aturan yang kaku dan banyak hal yang harus kami ikuti tanpa banyak tanya. Aku merasa tertekan dan mentalku hampir hancur saat itu. Sekarang, melihat bahwa senior-senior yang sama ada di organisasi itu membuatku semakin skeptis.

Tapi di sisi lain, aku merasa tertekan karena teman-teman seangkatanku semua tampaknya ikut bergabung dengan organisasi ini. Aku merasa seperti menjadi orang asing di tengah-tengah mereka, sementara mereka semua tampaknya tidak berani menolak dan menerima tekanan yang ada. Akhirnya, aku memutuskan untuk bergabung juga, meskipun dalam hati kecilku aku merasa tidak nyaman dengan keputusan itu.

Ternyata, keputusanku untuk bergabung dengan organisasi tersebut adalah keputusan yang sangat berat. Pertama-tama, tekanan dari senior-senior di organisasi ini sangat kuat. Mereka memiliki ekspektasi tinggi dan sering kali memaksa anggotanya untuk mengikuti kegiatan di luar batas normal. Kegiatan organisasi ini banyak dan sering kali berlangsung di luar jam kuliah, sehingga waktu belajar dan waktu istirahatku menjadi sangat terbatas. Tekanan ini sangat membuatku stres, terutama karena aku merasa bahwa iuran yang diminta juga cukup besar dan tidak sesuai dengan manfaat yang aku dapatkan.

Belum lagi, ada kewajiban-kewajiban yang sebenarnya tidak wajib, tetapi diharapkan untuk dilakukan oleh setiap anggota. Aku merasa bahwa semua ini lebih seperti paksaan daripada kesempatan, dan itu membuatku semakin tidak nyaman. Aku mulai merasa bahwa tujuan utama organisasi ini adalah untuk kepentingan mereka sendiri, bukan untuk perkembangan anggotanya.

Di tengah semua itu, aku merasa bahwa hubungan dengan teman-temanku juga mulai renggang. Mereka semua tampaknya berusaha keras untuk memenuhi ekspektasi senior, dan ketika aku berani untuk menolak beberapa hal yang mereka anggap sebagai kewajiban, aku merasa seperti menjadi pembangkang di antara mereka. Mereka mulai menjauh, menganggapku sebagai orang yang terlalu banyak membuat onar atau hanya menjadi beban bagi mereka. Perasaan ini semakin membuatku merasa terisolasi.

Aku ingat sebuah percakapan dengan temanku, Ardi, yang bertanya, "Kenapa sih lo selalu menolak ikut kegiatan organisasi ini? Kan bisa jadi kesempatan bagus."

Aku hanya bisa menjawab dengan jujur, "Ardi, aku cuma mau jaga kesehatan mentalku dan tetap bisa fokus pada kuliah. Rasanya terlalu berat kalau harus ikut semua kegiatan ini."

Ardi tampak tidak terlalu paham, dan aku merasakan ketegangan dalam hubungan kami. Aku menyadari bahwa keputusan untuk tidak ikut dalam berbagai kegiatan organisasi ini membuatku terpisah dari kelompok teman-teman yang aku anggap dekat. Dan meskipun aku merasa salah karena menjauh dari mereka, aku juga tahu bahwa aku harus menjaga diriku sendiri.

Akhirnya, aku memutuskan untuk keluar dari organisasi tersebut. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah, tetapi aku merasa bahwa ini adalah yang terbaik untuk diriku sendiri. Aku merasa lega karena bisa mengurangi beban yang ku rasakan dan fokus pada hal-hal yang lebih penting, terutama kuliah dan kesehatan mentalku.

Meskipun keputusanku untuk keluar dari organisasi tersebut membuat hubungan dengan beberapa teman seangkatanku menjadi renggang, aku tetap merasa bahwa keputusan itu adalah yang benar. Aku belajar bahwa kita tidak selalu harus mengikuti apa yang dianggap sebagai norma atau ekspektasi orang lain. Terkadang, kita harus berani mengambil langkah untuk melindungi diri kita sendiri, meskipun itu berarti harus menghadapi ketidaknyamanan atau kehilangan hubungan.

Pengalaman ini mengajarkanku banyak hal, terutama tentang pentingnya menjaga kesehatan mental dan membuat keputusan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan diri sendiri. Kadang-kadang, tekanan dari luar bisa sangat besar, tetapi yang terpenting adalah tetap percaya pada diri sendiri dan memilih jalan yang benar untuk diri kita.

Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-temanku yang telah mendukungku selama ini. Maaf jika keputusanku untuk keluar dari organisasi ini membuat jarak di antara kita. Aku harap kalian bisa memahami bahwa ini adalah keputusan yang aku ambil untuk menjaga keseimbangan dan kesehatan mentalku. Dan bagi kalian yang mungkin mengalami hal serupa, ingatlah bahwa tidak apa-apa untuk memilih jalan yang mungkin berbeda dari yang lain, selama itu adalah pilihan yang benar untuk diri kalian sendiri.

Di Balik Layar: Perjalanan Kuliah Angkatan CoronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang