Chapter 11 - Coming Home

3.8K 560 24
                                    

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Tersedia di Gramedia

IG @Benitobonita

Pesan online 081219457018 dan dapatkan diskon 20 persen + bonus

Pesan online 081219457018 dan dapatkan diskon 20 persen + bonus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kastel Lavonna

Pierre memanggul ransel pada bahu kiri dan mulai menapaki jalanan menanjak pada Kota Lavonna. Pohon maple yang berada di antara bangunan pada sisi kiri dan kanan jalan telah kehilangan sebagian daun. Pria itu menyusuri jalan utama sambil bersiul --menyenandungkan lagu anak-anak mengenai pelangi dan peri--.

Angin musim gugur yang berembus menerbangkan daun keemasan juga rambut pria itu membawa aroma daging busuk. Pierre menoleh ke arah toko roti. Sesosok mayat hidup yang telah kehilangan sebagian daging pada wajah akibat digerogoti belatung berjalan terseok-seok keluar dari tempat itu.

Pierre mengernyitkan hidung. Wajahnya menunjukkan ekspresi jengkel. Dia tidak menyukai mayat hidup. Beberapa bangkai berjalan --yang berasal dari sebagian besar penduduk Kota Lavonna-- berkeliaran di jalan-jalan. Menggeram dan membusuk.

Tiba-tiba dari arah belakang muncul mayat hidup yang melangkah mendekat. Pierre memutar tubuh tepat saat sosok yang hanya tinggal mempunyai sebelah mata itu memajukan kepala untuk mengendus dirinya.

Bangkai hidup itu membuka mulut lebar-lebar dan seketika aroma yang luar biasa tidak sedap berembus keluar menerpa wajahnya. Pierre mundur beberapa langkah dan terbatuk. Dia benar-benar tidak suka mayat hidup!

Zombi itu tiba-tiba membalikkan tubuh lalu meninggalkannya begitu saja. Pierre mengertakkan gigi. Keinginan menendang makhluk menjengkelkan yang membuat dirinya mual sangat menggoda.

Beberapa mayat hidup yang juga terlihat tertarik kepada pria itu berjalan mendekat. Pierre melihat mereka dengan tatapan gusar lalu mempercepat langkahnya dengan wajah tertekuk.

Namun, dirinya berhenti seketika saat melihat alun-alun yang berada di pusat kota. Bekas tiga buah tiang dan tiga buah tombak yang pernah terpancang di sana meninggal bekas permanen. Manik biru Pierre meredup sesaat sebelum dia mengepalkan kedua tangan dan kembali berjalan.

*****

Kastel yang telah berubah menjadi sarang penyihir terlihat semakin dekat. Bangunan batu bertingkat tiga itu masih terlihat gagah. Pierre mendengkus beberapa kali untuk mengeluarkan sisa bau busuk dari penciumannya.

Pria itu berhenti tepat di depan gerbang kayu yang merupakan satu-satunya jalur masuk lalu menempelkan telapak tangan kanan yang terbuka pada permukaannya dan mengucapkan sebuah mantra. Cahaya hijau memancar dari telapaknya dan pintu seketika terbuka.

Pierre melangkah masuk lalu kembali mengunci gerbang itu dengan sihir. Beberapa pekerja wanita yang sebagian besar dalam kondisi mengandung menghentikan kegiatan mereka untuk menoleh ke arahnya sejenak sebelum kembali melanjutkan tugas dengan ekspresi takut dan wajah pucat pasi.

Berbagai jenis pohon yang menghasilkan buah dan sayuran ada di halaman kastel. Di pojok kanan ada sebuah tempat yang dikhususkan untuk memelihara ayam dan sapi.

Penyihir itu menautkan alis. Dia memang tidak dapat mengingat satupun wajah para pekerja. Namun, sepertinya jumlah mereka bertambah banyak.

"Pierre!"

Seruan seorang laki-laki membuat pria itu menoleh. Senyum Pierre mengembang seketika. "Clayton."

"Kau terlambat!" Penyihir berambut merah itu --dengan didampingi tongkat hitamnya-- berjalan mendekat dengan wajah berseri-seri.

Pierre terkekeh dan ikut melangkah. Mereka bertemu di tengah halaman. Clayton menepuk singkat bahu saudaranya sebelum berkata, "Masuk. Kita akan makan siang sebentar lagi. Apa kau ingin mandi terlebih dahulu?"

"Clayton, berhenti bertingkah seperti perempuan cerewet," tegur pria itu dengan senyum mengembang. Dia memang merindukan rumahnya.

*****

Area hutan dekat dengan Desa Melvian tidak berubah sama sekali. Tempat itu sepi dan sunyi. Michelle bersimpuh di depan tiga buah makam. Manik hijaunya melembut ketika dirinya memunguti kumpulan daun kering yang menutupi ketiga pusara. Rambut panjang pirang gadis itu terikat dan disampirkan ke samping.

Michelle membasahi kain dengan air dari botol lalu mulai mengelap potongan batu yang sudah sangat berdebu pada kepala pusara. Awalnya ketiga makam hanya ditandai oleh kayu. Namun, gadis itu mencari cara agar kuburan ketiga orang yang dia kasihi menjadi lebih layak dilihat.

"Nenek, aku datang." Gadis itu berbisik. Jemarinya sibuk bergerak mengelap batu yang berada paling kanan. "Udara mulai terasa sejuk. Musim gugur sudah tiba."

Michelle mengabaikan tiupan angin yang mempermainkan rambut keemasannya. "Aku bertambah tinggi ...."

Gadis itu tiba-tiba terdiam. Ujung hidungnya memerah dan matanya berkabut. Michelle menelan ludah sebelum melanjutkan ucapannya dengan lirih. "A-aku kehilangan hadiah darimu ... aku sudah mencarinya."

Michelle segera menghapus setetes air mata yang bergulir turun dari pelupuknya. Dia tidak boleh menangis. Neneknya akan khawatir. Mata gadis itu memerah saat dirinya berusaha tersenyum. "A-aku mempunyai teman baru ...."

Jemari gadis itu kembali menggerakkan kain yang semakin hitam oleh debu. "Dia adalah pria ter-kurang ajar yang pernah aku temui ...."

Manik hijau Michelle melembut seketika dan suaranya semakin sulit didengar. "Laki-laki itu menyelamatkanku. Dia menemaniku hingga aku dapat menjaga diriku sendiri."

Cahaya matahari sore membelai kulit gadis yang lagi-lagi termenung. "Aku belum mengucapkan terima kasih kepadanya ...."

Jantung Michelle kembali berdenyut perih. Gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali. Beberapa butir apel yang hampir membusuk masih tersimpan di dalam ranselnya.

"Dia menjulukiku dengan sebutan binatang!" seru Michelle tiba-tiba. "Dia tidak memiliki kesopanan sama sekali!"

Beberapa helai daun keemasan yang berasal dari pohon oak kembali gugur ke atas pusara. Michelle segera menyingkirkan mereka. Gadis itu meletakkan kainnya lalu mulai sibuk mencabuti rumput liar dengan kedua tangan.

Pandangannya beralih kepada makam ibunya yang diapit oleh kedua kuburan. Rasa bersalah membayangi manik hijau Michelle. Dia yang menyebabkan wanita yang melahirkannya meninggal. Neneknya tidak pernah menghujatnya, tetapi cemoohan dari penduduk sudah cukup memberikan informasi untuk gadis itu.

Michelle meninggalkan makam neneknya lalu mulai merawat pusara ibunya. Tidak banyak kata yang gadis itu ucapkan. Neneknya selalu menangis setiap dirinya bertanya mengenai masa lalu kedua orang tuanya dan dia tidak suka melihat neneknya bersedih.

Namun, pertanyaan yang terus menghantui gadis itu adalah apakah ibunya menyesal telah mengandung dan melahirkannya? Apakah ayahnya masih hidup hingga saat ini? Apakah mereka saling mengasihi?

Suara sekelompok burung yang terbang untuk mencari tempat berteduh menyadarkan Michelle dari lamunan. Gadis itu beringsut ke pusara. Tempat gurunya dimakamkan.

"Kakek," sapa Michelle lembut. "Aku datang."

Gadis itu mulai membersihkan kuburan terakhir hingga malam menjelang.

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^

11 Maret 2018
Benitobonita

Sumber gambar:
https://pinterest.com/pin/818599669739577670/?source_app=android






Penyihir Terakhir [ Buku 1 Puerro Series ] ADA DI GRAMEDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang