Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
Tersedia di Gramedia
IG @Benitobonita
Pesan online 081219457018 dan dapatkan diskon 20 persen + bonus
Hari hampir gelap ketika Pierre melangkah keluar dari kuil. Pria itu melirik ke arah bagian lengan tunik hijau yang dipakainya dan mendecakkan lidah. Lagi-lagi noda darah mengotori pakaiannya.
Manik biru pria itu beralih kepada keadaan sekitar. Sisa bangkai manusia berserakan di jalan-jalan. Bercak darah terlihat di berbagai tempat. Dinding bangunan, batang pohon, dan rumput. Beberapa mayat hidup berjalan terseok-seok berkeliaran dan mengeluarkan suara geraman dari tenggorokan mereka.
5 orang manusia sebagai korban persembahan. Pasti Ibu Suci Lana akan sangat puas, pikir pria itu tersenyum sinis.
Pierre mendongak menatap pepohonan yang sudah tidak memiliki daun. Udara sore bertiup membawa hawa dingin musim gugur. Pria itu tiba-tiba teringat akan gadis bodoh yang memiliki aroma tubuh tidak sedap dan menolak untuk dimandikan.
Manik biru pria itu berbinar geli. Tawa kecil keluar dari bibirnya. Seharusnya siluman itu sudah tidak berbau anyir. Kecuali ada seseorang yang memukul kepalanya lagi.
Pierre merogoh saku celana kanan dan menarik keluar liontin emas milik Michelle. Pria itu tersenyum kecil dan membelai permukaannya dengan ibu jari. Rasa penasaran akan keberadaan si pemilik kalung menggelitik dirinya.
Dengan lembut pria itu mengucapkan sebuah mantra kuno sebelum berseru, "Kompas!"
Sinar berwarna hijau berbentuk panah melayang di atas liontin milik Michelle dan menunjukkan lokasi gadis itu berada. Pierre mematung. Cahaya sihir terlihat pekat. Si pemilik kalung berada tidak jauh desa ini.
Suara geraman mayat hidup terdengar dari dalam kuil. Pierre kembali tertawa kecil. Ibu Suci Lana tentu bersyukur tidak kehilangan para pelayan suci mereka, walau para pendeta telah memulai lembaran hidup baru yang berbeda.
Pierre kembali mengamati kompas sihirnya. Tugas selanjutnya searah dengan lokasi Michelle berada. Senyum merekah pada wajah sang penyihir. Dia membutuhkan hiburan dan gadis itu sangat menyenangkan untuk diamati.
Bersiul kecil, pria itu melangkah untuk mengambil ranselnya lalu berjalan meninggalkan desa dengan hati riang.
*****
Michelle merapatkan kain tebal yang berhasil dia peroleh dari salah satu rumah penduduk yang tidak lagi dihuni. Gadis itu duduk menekuk kedua lutut di atas tikar dan menghangatkan diri di dekat api unggun buatannya.
Daerah Crambery hampir mirip dengan kuburan. Setelah hilangnya pemilik Kastel Crambery beserta keluarganya, Ras Gwyllgi melakukan pembantaian besar-besaran dan merusak tempat tinggal ksatria yang bertugas membasmi kaum mereka. Penduduk yang tersisa segera mengungsi ke tempat lain membawa harta benda.
Manik hijau gadis itu mengamati dari kejauhan bangunan tiga lantai yang pernah memiliki masa kejayaannya. Suara burung hantu terdengar dari berbagai pepohonan yang tumbuh tidak beraturan di sekitarnya.
Michelle mengalihkan pandangannya kepada bara api yang membakar ranting. Udara dari hari ke hari semakin dingin. Dia harus mencari tempat untuk berteduh hingga musim semi tiba. Tahun-tahun sebelumnya gadis itu menghuni salah satu rumah penduduk yang terlantar. Sendirian dan kesepian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penyihir Terakhir [ Buku 1 Puerro Series ] ADA DI GRAMEDIA
FantasíaTERSEDIA DI GRAMEDIA [ Pesan online 081219457018 ] #winner PNFI Award 2018 #nominasi fantasi terbaik Wawa 2017 #10 besar cerita terbaik (sponsor Mizan Mei 2017) #6 Fantasy - Romance(16+) #nominasi fantasi terbaik PNFI 2018 Puerro, sebuah kerajaan ya...