Seharusnya, menunggu akan jadi biasa saja kalau ada yang menemani. Tapi namanya menunggu, pasti lama-kelamaan juga akan lelah. Menunggu nggak cuma modal tempat duduk dan waktu, tapi hati yang semakin lama berkobar kepanasan saking menahan kesal. Untungnya lima cangkir cokelat hangat bisa menemaninya selama dua jam. Serta musik cinta-cintaan—yang tak begitu dipahami Raya—mengalun lembut di kafe malam ini. Setidaknya, dia suka akan tempat ini. Nyaman.
Sambil menunggu Angkasa, Raya membuka notebook. Corat-coret membentuk kalimat yang tak terlalu bisa dibaca.
Kemarin memang cowok itu berjanji akan mengajari Raya matematika di kafe Zhero, juga sudah megembalikan ponsel pink miliknya yang dikira tak akan dikembalikan. Tapi nyatanya, sudah ratusan pesan dikirim ke Angkasa serta lima cangkir cokelat hangat sudah tandas, wujudnya tak juga muncul di permukaan. Dari pukul lima sampai tujuh malam. Se-niat itu Raya menunggu seseorang.
#0103
Tenang saja, Tuan
Gadis ini masih setia menunggu di tengah ramainya malam,
namun tetap saja...
lelah menyergap
Kantuk, kantuk, kantuk
Biar bibir berceletuk
Senyap, hening, dalam sendiri
Tak tahu kapan gadis ini ‘kan berhenti
Pulang, pulang, pulang
Kapan kau membawaku pulang?
Tangis, tangis, tangis
Aku ingin menangis supaya Sang Raja Angkasa tahu,
bahwa lelah benar sesak menelusup jiwaku
—Menunggu Angkasa yang Tak Kunjung Membawaku Pulang, Agustus
Lagi-lagi Raya menutup bibirnya yang terbuka lebar karena tak bisa menahan rasa kantuk. Jam memang masih menunjukkan pukul tujuh malam, tapi dia sudah menguap berkali-kali. Mungkin Raya setelah ini harus memesan kopi daripada susu cokelat, meski dia nggak akan pernah bisa minum kopi. Tapi untuk menahan kantuk, dia akan rela magh beberapa menit saja.
Raya membuka ponsel. Satu pesan muncul di sana. Berharap Angkasa, tapi nyatanya nomor tak dikenal.
+628889xxxxx : Hi there. Kamu di kafe Zhero? Meja nomer?
Dahi Raya sudah berlipat-lipat ketika tahu ada yang mengiriminya pesan tersebut. Nggak mungkin, kan, Angkasa? Mana ada Angkasa pakai ‘aku-kamu’ begitu?
Tak mau membalas pesan tersebut—karena takut dari orang aneh—Raya hanya meletakkan ponselnya kembali di meja, sampai sebuah tepukan mampir ke bahu dan membuatnya terkejut. Namun saat Raya menoleh, dia lihat Melki berdiri sambil menggandeng lengan cewek.
Marsya.
“Marsya?”
Kata itu yang keluar pertama kali dari bibir Raya ketika lihat Marsya ada di hadapannya. Dengan Melki tentu saja. Marsya yang ... cantik, bajunya sangat menunjukkan bahwa cewek itu fasihonable, juga rambut yang wangi saat cewek itu melewatinya.
Pantas saja Melki suka.
Binar mata Raya masih memerhatikan kecantikan Marsya, sampai tak sadar bahwa Melki memilih duduk di sebelahnya daripada pacarnya sendiri.
Cewek berambut gelombang di bawah itu menjulurkan tangannya, “Gue Marsya.”
Raya mengerjap, “Oh—aku Raya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Raya [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]
Novela JuvenilYang Raya tahu, Angkasa playboy. Tapi seharusnya, ia juga tidak memulai sebuah bencana baru di masa SMA-nya yang selalu tentram-hanya berkubang dengan kata-kata karena dia anak jurnalistik di ekskul sekolah. Ya, seharusnya Raya tidak membuat masalah...