"Ray, gue pengin baca puisi lo," ucap Angkasa tiba-tiba di sela mereka belajar.
Salah. Hanya Angkasa yang sibuk berkutat pada soal, sedangkan Raya sibuk mengamati si pengajar. Raya memang tahu, cowok itu selalu mempesona—pun ketika marah. Tapi dia nggak begitu tahu kalau Angkasa bisa se-mempesona itu saat belajar, membaca, menghitung, dan memutar-mutar pensil ketika bingung dengan soal. Padahal, saat lomba matematika dengan Lisa, Raya masih sangat jengkel dengan kesombongan cowok di sampingnya ini.
Bolehkah Raya jatuh pada Angkasa? Atau ... maukah cowok itu memeluknya ketika jatuh? Pikiran itu mendadak mampir ke otak Raya.
"Oneng. Gue udah panggil bagus-bagus, nggak nyaut. Emang kudu dipanggil Oneng sih lo." Angkasa menjitak kening Raya pelan. "Makanya nggak pinter matematika ya gini."
Raya langsung melengos. Bibirnya mencebik kesal. Baru saja Angkasa dipuji, baru saja hatinya meragu, sudah dijatuhkan begitu saja.
Sakit!
"Woi," panggil Angkasa sambil mengetuk pensil di meja berulangkali.
Raya masih membelakangi Angkasa. Begitu akan membalik, ia menyiapkan senyum terbaik yang ia punya. Yang selalu ayahnya suka.
"Apa?" tanya Raya sambil tersenyum lebar sampai ke mata.
Bukannya takjub, cowok berdarah campuran Manado, Sunda, dan Jawa itupun malah tertawa. "Lo ngapain?"
"Ish, kok ketawa?"
"Lo aneh. Gue pengin baca puisi lo, Oneng."
Raya mengernyit. "Buat apa? Di blog kan udah ada?"
"Yang khusus buat gue seorang."
"Idih."
Alis Angkasa terangkat satu. "Kenapa? Kan lo suka sama gue?"
"Siapa yang bilang?!" teriak Raya kaget.
"Kemarin lo bilang. Pas ada Ica. Lo diam, berarti iya."
Raya meniup poninya ke atas. "Huft. Angkasa sekarang banyak omong, ya? Ingat, nih. Aku nggak akan suka sama Angkasa Peta Natawijaya. Nggak bakal. Karena kamu," telunjuk Raya menggantung di udara, "udah jahat sama aku."
"Lah. Kagak jahat. Lagian, biasanya kalau ngomong nggak bakal, pasti bakal kejadian. Ngaku aja lo, suka sama gue kan?"
"Dibilang enggak!"
Lalu begitu omongan Raya selesai, ia menyesalinya. Hati dan perutnya mendadak merasakan hal tak enak. Seperti habis dipukul oleh benda keras tak kasat mata. Bahkan ketika ia mengatakan dengan keras, bahwa tidak menyukai Angkasa, saat itu juga hati Raya kembali jatuh.
Angkasa menghembuskan napas. Di dalam hati, ia merasa ditolak. Tapi senyum angkuh masih keluar dari wajah tampannya. "Gue cuma bilang. Kalau suka, lo hati-hati sama Ica. Jangan sampai berurusan sama dia."
"Kenapa?"
"Gue takut kalau nggak bisa memeluk lo kapan aja. Ambisi selalu bisa berbuat apa aja."
Raya menunduk, mata lawan bicaranya sangat tajam. "Tapi aku enggak suka, kok. Hehe."
"Oke. Bagus kalau gitu."
Dan untuk kesekian kali, ada hati yang kembali patah. Untuk pertama kalinya juga, Angkasa patah hati terhadap perempuan—padahal belum mulai berjuang.
*
Malamnya ketika Raya tidak melakukan apa-apa, ia terlentang di atas kasur sambil berpikir tentang hal yang terus mengganggunya. Dia sering baca di artikel bahwa karma selalu ada. Terkadang apa yang kita benci, malah nantinya bisa kita sangat sukai. Dan soal foto Melki ... jika mengingatnya ia kembali menghela napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raya [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]
Fiksi RemajaYang Raya tahu, Angkasa playboy. Tapi seharusnya, ia juga tidak memulai sebuah bencana baru di masa SMA-nya yang selalu tentram-hanya berkubang dengan kata-kata karena dia anak jurnalistik di ekskul sekolah. Ya, seharusnya Raya tidak membuat masalah...