Tidak semua kenangan di masa kecil akan teringat. Tapi, saat otak memproses hal itu, bisa saja muncul secara tiba-tiba—padahal kamu tidak meminta datang.
Angkasa kecil tak memiliki banyak teman—yang benar-benar bisa disebut teman. Temannya paling hanya sementara karena ikut orangtua pindah megikuti sang ayah yang banyak pindah tempat kerja dan bundanya tidak mau ditinggal untuk waktu lama. Teman Angkasa hanya sebatas tukar 'hai' dan nama. Hanya sebatas itu. Tidak lebih. Itu juga yang membuatnya tidak mau keluar rumah jika tidak disuruh bunda. Baginya, masa kecil hanya diisi banyak orang lalu lalang. Datang dan pergi. Terus begitu sampai sekarang ia ingat satu hal.
Bahwa teman masa kecilnya ada Raya—gadis cilik yang merebut mainannya. Meski tak memiliki kenangan banyak dengan Raya, ia sedikit terhibur. Emosinya saat berada di samping gadis itu berubah-ubah saat kecil—pun sampai sekarang.
Namun ketika sudah memasuki kelas 6 SD, Angkasa dan keluarganya menetap di salah satu komplek perumahan dan tidak lagi mengikuti sang ayah yang gemar keluar kota bahkan negeri. Lalu Angkasa yang jarang main saat kecil, bertemu dengan Reno dan Abi. Disusul Melki yang sekarang malah menjadi sahabat Angkasa—walau sering menyusahkan.
Kaki panjang Angkasa menyusuri lorong kelas 12 IPS dengan tatapan lurus ke depan dan tak acuh seperti biasa. Meski bisikan siswi terdengar di telinga. Mempertanyakan keberadaan Angkasa di lorong IPS.
Suara cempreng dari seorang siswi di belakangnya menyeletuk, "Cari Lisa mungkin? Diajakin adu tatapan cinta. Hahaha."
Angkasa berdecak dalam hati. Rasanya ingin teriak di depan wajah mereka, membungkam bibir agar tetap diam. Tapi sudah takdirnya cewek itu suka gosip, batinnya memaklumi.
"Eh, Rang Rang!" panggil Angkasa keras di lorong depan kelas IPS 3.
Merasa tak ada yang dengar, Angkasa memanggil lagi. "Rangga! Woi!"
Seorang cowok berambut ikal dengan tinggi 180 cm itu menoleh. Mata cokelat kayu dengan telinga lebar yang kadang terlihat jail, menyapa Angkasa pertama kali.
"Woy. Napa?" tanya Rangga sambil mendekat.
Tangan Angkasa melambai, menyuruh untuk mendekat. Bahkan bibirnya akan mendekati telinga Rangga. Cowok itu mundur perlahan dengan wajah geli.
"Lu napa coy?"
"Sssttt..." Telunjuk Angkasa berada di depan bibir, lalu bertanya, "lo tau Raya?"
Dahi Rangga mengerut. "Taulah. Ya kali gue nggak kenal dan nggak tau."
"Sekarang dia di mana?"
Rangga kembali mundur. "Weiiitss ... lo ngapain nyari dia?" tanyanya senewen.
Angkasa berdecak. Ia tak menggubris ucapan Rangga dan celingukan di jendela kelas IPS 3 untuk mencari Raya. Tapi karena tahu kelakuan cowok yang katanya playboy itu, Rangga menutup-nutupi kepala Angkasa dengan tubuhnya.
"Ngapa dulu? Pajak ah."
"Alah, sama temen sendiri."
Rangga mengernyit. "Di sini nggak ada yang gratis. Apalagi untuk cewek imut kayak doi. No no."
"Di mana? Ntar gue traktir baso," balas Angkasa sambil menghela napas—mengingatkan dirinya sendiri untuk sabar.
"No. Anak celebrity chef masak ngasih gue baso. Makan di rumah lo lah."
"Nggak ada waktu gue."
Rangga berdecak malas. "Tau dah. Terserah. Raya juga lagi sama Melki. Berduaan. Bye, Playboy." Tubuh tegap itu langsung ngacir pergi, lari dari Angkasa—mungkin takut kalau dikejar. Membuat Angkasa langsung melayangkan tendangan meski nggak akan sampai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raya [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]
Novela JuvenilYang Raya tahu, Angkasa playboy. Tapi seharusnya, ia juga tidak memulai sebuah bencana baru di masa SMA-nya yang selalu tentram-hanya berkubang dengan kata-kata karena dia anak jurnalistik di ekskul sekolah. Ya, seharusnya Raya tidak membuat masalah...