Sepulang sekolah, gerombolan Angkasa ngetem di rumahnya untuk memborbardir bunda Angkasa yang sering sekali masak banyak. Padahal, cuma ada empat orang di rumah. Angkasa hanya punya kakak, namanya Peta Mentari Natawijaya. Kuliah semester lima jurusan kedokteran.
Melki, Abi, dan Reno sudah nangkring di ruang makan dengan muka cengengesan. Angkasa masih bergeming di tempat sambil mengamati ponsel di tangannya. Ponsel berkode yang membuatnya luar biasa hampir saja meluapkan emosi.
“Angka, teman-temanmu diajak ganti baju dulu sana,” titah bundanya sambil membawakan sup di mangkuk besar. “Kamu jangan main hape terus, ah!”
Saat bunda Angkasa ngomel, ketiga temannya langsung menoleh pada temannya. Ponsel asing. Casing pink dengan sisi layar putih.
Mata Melki menyipit, “Pink?” gumamnya pelan yang sayang didengar oleh Reno dan Abi.
Bundanya langsung mengerut. “Itu punya kakakmu bukan? Apa ketinggalan, ya?”
Angkasa tak acuh. Dia malah sibuk membuka kunci, lalu mencoba sampai melihat pantulan cahaya—siapa tahu ada jejak tangan gadis aneh itu di sana.
“Jangan-jangan punya pacar Angka, tuh, Bun?” tanya Abi sambil mendekati Angkasa, penasaran banget.
Angkasa ini emang banyak sekali dikirimi pesan sama cewek-cewek di SMA, terlebih adik kelas. Dan kalau Angkasa malas banget, langsung dihapus. Kalau lagi nggak malas, dia akan balas meski cuma tanda tanya. Kalau kata Angkasa sih, yang penting dia balas. Dan itu akan jadi balasan pertama dan terakhir karena dia capek harus ngetik pesan nggak penting. Sekarang, lihat Angkasa dengan ponsel pink, rasanya Abi terlalu penasaran. Apa mungkin, Angkasa maling? Ah, nggak mungkin. Bahkan orang tuanya saja punya restauran dan ayah Angka ini kan selebriti chef.
Melki masih diam mengamati. Mulutnya juga ikut bergerak. Karena makanan bunda begitu juara. Mungkin sudah keturunan keluarga pintar masak.
“Rasanya ini ponsel Mentari deh...” gumam bunda Angaksa masih penasaran.
Tangannya sudah akan merebut ponsel itu dari anaknya, tapi anaknya sudah cepat menyimpan di bawah pantat.
“Jangan, Bun!” Angkasa menahan tangan bunda, lalu terkekeh garing.
“Ngapain jangan, Ka?” Reno juga penasaran.
“Punya pacarmu, ya?” Bundanya kembali bertanya. Angkasa menghela napas.
“Iya tuh, Bun. Angkasa kan banyak yang ngejar. Kayak maling dia tuh.”
Angkasa menggeleng. “Nggak,” ucapnya seolah tahu tatapan sang bunda.
Seolah berkata, ‘beneran udah punya pacar?!’ karena bundanya selalu bilang harus beri tahu kalau sudah punya. Karena yah, kelewat penasaran. Sedangkan ayah Angkasa akan memilih diam, berdecak, dan menyuruh anaknya belajar.
Reno dan Abi kembali duduk. Sedangkan mereka siap-siap untuk makan, termasuk Angkasa. Meski tangan kirinya memegang ponsel dan selalu mencoba-coba kode, tangan yang satu aktif menyumpal mulutnya dengan makanan bunda.
Lalu, beberapa detik berlalu, Angkasa menletakkan sendok di piring dengan keras. Usahanya berhasil.
“Angka! Jangan ribut sendiri!”
“Maaf, Bun.”
Sedangkan Melki, hanya menatap sambil menilai dalam hati.
*
“Ma, pesuruh itu apa sih?”
“Hm ... apa, ya? Kayak kamu kerja sama orang gitu? Karyawan itu juga pesuruh, kan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Raya [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]
Fiksi RemajaYang Raya tahu, Angkasa playboy. Tapi seharusnya, ia juga tidak memulai sebuah bencana baru di masa SMA-nya yang selalu tentram-hanya berkubang dengan kata-kata karena dia anak jurnalistik di ekskul sekolah. Ya, seharusnya Raya tidak membuat masalah...