16 - The One Who Push Me Away

86.1K 10.2K 1.6K
                                    



#0109

Untuk seseorang yang mendorongku pergi ketika aku mulai jatuh hati, tidakkah kamu takut jika penyesalanmu datang terlambat? Menyianyiakan seseorang, contohnya.

*

Mama : kenapa, Nak? Mama harus buka apa di laptop kamu?

Raya menerima pesan itu saat akan membuka ruang kepala sekolah. Ia segera membalas dan membuka pintu ketika tarikan kencang membuatnya akan jatuh di lantai yang terkena percikan air hujan. Mendung di pagi hari tadi akhirnya menumpahkan segala ketakutan manusia jika lupa membawa jas hujan atau payung.

Di hadapannya berdiri Angkasa dengan wajah yang tak pernah dikenali Raya. Menyeramkan. Seolah Raya adalah musuh yang harus ia benci.

Sedangkan Angkasa merasa terluka ketika melihat Raya seperti sekarang. Tidak menyadari bahwa lengan seragam basah dan rambut lepek di beberapa sisi. Rahang Angkasa mengeras, bahkan jaket dan tangan Raya yang ia genggam menjadi saksi bisu kekesalannya sekarang.

"Sudah merasa paling benar?"

Raya berusaha melepas cekalan Angkasa. "Maksud kamu apa?"

Angkasa tidak menjawab. Ia menyentak jaketnya yang sedari tadi dibawa. "Pakai. Seenggaknya lo jangan pingsan sampai bisa menjelaskan kesalahan yang lo perbuat."

Jantung Raya tertikam benda tajam. Sakit. Bahkan ia merasa matanya memanas. Jaket yang dilempar Angkasa, hanya berada dalam genggamannya.

"Aku nggak salah, Ka," katanya pelan, bergetar.

"Orang pintar sekalipun akan bilang itu kesalahan lo."

"Aku nggak perlu omongan kamu."

"See?" Angkasa tersenyum meremehkan. "Harusnya omongan gue buat lo pengin nunjukin kalau lo nggak salah. Sekarang bukan waktunya lo baper. Tunjukin ke orang-orang yang nggak percaya sama lo, kalau ternyata lo nggak ngelakuin itu."

"Termasuk ke gue."

Raya mendongak, menatap wajah Angkasa yang tidak berubah ekspresi. Masih menyeramkan. Itu membuatnya jadi bertanya-tanya, apakah cowok itu kecewa padanya? Atau mendadak membencinya? Raya penasaran.

"Sana masuk. Sekarang."

Raya langsung menunduk. "Aku takut."

"Jangan mau jadi orang bodoh hanya karena takut."

"Kamu percaya aku nggak ngelakuin itu?"

Mata mereka bertemu. Raya seolah mencari cara supaya dirinya tahu apa yang sedang dipikirkan Angkasa. Sedangkan cowok itu, berusaha menutupi apapun celah yang bisa membuat Raya tahu bahwa ia khawatir—entah itu sedikit atau banyak.

"Gue pergi," jawab Angkasa tanpa menjawab pertanyaan Raya dan berlalu cepat meninggalkan.

Raya menarik napas sedalam-dalamnya. Memasok oksigen. Berharap sesak yang ada di dadanya segera hilang. Tapi nihil. Air matanya malah mengalir tanpa permisi. Ia segera mengusap dan dengan keberanian tipis, Raya mengetuk pintu.

"Masuk."

Kaki kecil Raya melangkah ke dalam ruang ber-AC milik kepala sekolah. Dingin. Membuat tubuhnya meremang. Ia menatap jaket yang diberi Angkasa tadi, lalu menutup tubuhnya dengan itu.

"Selamat siang, Pak," Raya membungkuk, "Saya Raya Kinanthi dari kelas 12 IPS 3."

"Duduk."

Ucapan tegas dan penuh wibawa itupun membuat Raya langsung menatap kepala sekolahnya. Tidak ada tatapan amarah di sana. Membuat Raya tenang dan melangkah duduk di hadapan kepala sekolahnya.

Raya [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang