Malamnya, setelah Melki dan Marsya bertemu, cowok bertubuh tinggi dengan senyum memikat itu datang ke rumah sahabatnya—rumah yang selalu hangat ketika Melki berkunjung ke sana. Bahkan terlalu hangat untuk orang tempramental seperti Angkasa.
"Yo, Ka!" sapa Melki ramah seperti biasa.
Angkasa balas tersenyum miring tanpa menoleh sekalipun karena fokusnya masih ada di ponsel. Tubuh tingginya bahkan tak bergerak meski mereka sekarang ada di halaman belakang, duduk di depan kolam ikan ditemani angin sepoi-sepoi. Meski bisa dibilang bersama, tapi mereka tak 'seakarab' kelihatannya. Angkasa selalu berusaha untuk sabar, meski terkadang ia sangat emosi jika berhadapan dengan temannya Melki.
Melki menepuk pundak Angkasa, mencoba cari simpati barang semenit saja. "Daritadi lo nggak respon keberadaan gue. Dan baru kali ini gue lihat lo main hape lama banget," ocehnya.
Masih diam, tak berkutik. Namun bibir tipis Angkasa melengkung—tersenyum pada layar ponselnya yang menampilkan chat room dengan seorang gadis. Raya.
Tak dapat respon balik, Melki menyandarkan punggungnya ke kursi malas. Menatap langit yang gelap tanpa adanya bintang.
Ia menghembuskan napas, "Ka, kayaknya gue mau deketin Raya."
Jari yang tadi menari-nari di layar, mendadak berhenti. Ia menoleh langsung. Sahabatnya—jika memang bisa dikatakan begitu—masih memerhatikan langit.
"Gue nggak ngerti lagi. Tapi dia ingatin gue sama teman masa kecil."
"..."
"Waktu lo di ruang makan, gue tau lo udah berubah, Ka."
"Gue nggak ngerti, Nyet," balas Angkasa masih sabar meski genggaman tangannya sudah mengerat pada ponsel.
Melki terkekeh. Kepalanya menoleh seiring wajahnya berubah jadi datar secepat yang ia bisa. "Gue tau lo tertarik sama Raya. Ya kan?"
Angkasa tetap diam.
"Ayolah, Man. Gue ngerti perasaan lo. Angkasa yang selalu bantu Melki untuk tenangin hati cewek-cewek, ternyata jatuh cinta setelah bertahun-tahun lamanya nggak ngerasain." Melki meninju lengan Angkasa ringan. "Am I right?" tanyanya sambil tersenyum miring.
Cowok berambut hitam yang terkesan berantakan itu menyugar rambut. Kesal dengan tingkah Melki. Kalau ada hal paling rahasia antara sahabat, mungkin mereka pemenangnya. Saling menyembunyikan, salah satunya melindungi, salah satunya senang bermain. Salah satunya terkena dampak, satunya lagi tenar karena temannya berhasil melindungi. Salah satunya bungkam walau tetap menjadi idola, satunya tebar pesona. Salah satunya selalu menenangkan, satunya lagi ingin menang.
Itu kenapa sesekali dirinya merasa jadi bayangan. Angkasa yang penuh pesona, Angkasa yang selalu baik meski tak bisa menutupi tempramentalnya. Terkadang, Abi dan Reno merasa kasihan kalau murid Nuski nyinyir terhadap temannya itu.
Angkasa mengulas senyum tanpa arti. "Gue kalau tertarik nggak akan ngomong. Lo tau itu dengan jelas."
"Oke ... udah kelihatan jelas kalau lo suka sama Raya."
"Terserah gue mau suka sama siapa."
"Tapi jangan Raya."
"Terserah."
"Gue minta kali ini, Ka."
"Gue juga minta sekali ini aja lo berhenti," balas Angkasa masih tetap santai di tempat duduknya, "mungkin lo bisa nyakitin Lisa, Ica, dan Marsya. Dan mungkin gue bisa tenangin mereka, ngebuat mereka 'melihat' gue. Tapi untuk Raya, gue nggak akan mau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Raya [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]
Genç KurguYang Raya tahu, Angkasa playboy. Tapi seharusnya, ia juga tidak memulai sebuah bencana baru di masa SMA-nya yang selalu tentram-hanya berkubang dengan kata-kata karena dia anak jurnalistik di ekskul sekolah. Ya, seharusnya Raya tidak membuat masalah...